Label

Rabu, 16 Januari 2019

JEMPOL YANG DIMARTIL

Cerpen.

Jono menjadi nama yang paling sering dibicarakan di kampungnya dan di kampung sebelah. Berita tentang kasus korupsi penyelewengan dana milyaran triliyunan Rupiah di tivi kalah ramai. Kampung-kampung lain di sekitarnya pun segera menyerap dan segera mengekspos  berita tentang Jono.
 Orang-orang sering dan biasa memanggilnya Kopral Jono. Entah karena Ia selalu berpotong rambut model tentara atau karena ada judul film, Kopral Jono. Jono tak mempermasalahkan dan asik-asik saja.
Ia menjadi bahan pembicaraan yang laris karena ulahnya memartil jempol Hasim sampai gepeng dan cacat. Bermula ketika mereka sedang sama-sama gotong royong mendirikan rumah Pak Marga. Ketika tangan kanan Hasim sedang memegang sebuah balok dan jempolnya tergolek, tiba-tiba saja Jono memukulkan martil ukuran sedang ke jempol Hasim. Karuan saja Hasim langsung menjerit kaget dan kesakitan. Jempolnya remuk, darah menetes deras. Hasim berjingkrakan menahan sakit seperti orang kesurupan. Sebelum akhirnya Hasim pingsan, Hasim sempat berusaha memukul kepala Jono dengan martil yang lebih besar. Untung saja orang-orang di sekitarnya berusaha menahannya. Selamatlah Jono. Semakin penasaranlah Hasim.
Hasim dibawa ke dokter untuk diobati. Masalahnya tidak hanya berhenti di situ. Hasim dan Jono berlainan kampung tempat tinggalnya. Ketika orang-orang sekampung Hasim mendengar berita tersebut, serentak mereka berkumpul dan berbondong-bondong ke kampung Jono dengan memendam dendam membara di setiap dada. Berbagai senjata tajam mereka bawa; parang, golok, sabit, pedang,  celurit, linggis, gergaji, batang kayu, dan seluruh benda yang dapat dipakai untuk melukai manusia. Layaknya prajurit kerajaan yang berangkat perang, mereka berteriak-teriak membakar semangat sekawanannya.
Orang-orang yang menyerbu ke kampung Jono kebanyakan tak kenal muka Jono. Mereka hanya tahu ciri-cirinya dari mulut ke mulut. Ketika mereka melihat orang yang berciri-ciri sama dengan Jono, mereka langsung saja menyergap dan memukuli beramai-ramai tanpa menanyai terlebih dahulu. Untung saja Polisi segera datang menyelamatkannya.
Orang yang ketiban sial itu namanya Imam. Mukanya berdarah-darah, tubuhnya memar-memar dan kedua jempol tangannya remuk. Merasa dendamnya telah terbalaskan, mereka segera pulang dan bersembunyi dari kejaran polisi.
Imam meski belum sembuh benar segera menyiapkan acara balas dendam. Ia kumpulkan teman-teman, tetangganya dan sanak saudaranya. Jono pun tak luput dari ancaman Imam. Sebab menurut Imam perbuatan Jono-lah yang membikin Ia babak belur luka parah hanya karena ciri-cirinya mirip dengan Jono. Imam tak peduli Ia dan Jono masih satu kampung. Baginya Jono juga harus mengalami seperti yang ia alami.
Mendengar dirinya dianacam, Jono segera mencari perlindungan dari saudara-saudaranya dan tetangganya. Jono juga mendatangi kepala desa untuk menjelaskan duduk perkara itu.
“Sungguh Pak, saya nggak sengaja memartil jempol Hasim. Saya sendiri tak tahu sampai melakukan itu. Waktu itu tiba-tiba saja aku benci sekali sama jempol. Sebuah organ tubuh yang bikin orang bangga apabila diacungkan untuknya. Hingga orang kadang berbuat apa saja untuk mendapatkan acungan jempol. Kebetulan waktu itu jempol Hasim tampak bersih dan kukunya rapi. Tentu orang akan senang sekali jika diacungi jempolnya.”
Pak Kepala Desa manggut-manggut.  Entah mendengarkan, entah maklum, entah sependapat atau malah tak mengerti apa perkataan Jono.
“Bagus.”  kata Pak Kepala Desa sambil sedikit mengacung jempol.  Jono tercengang dan bangga. Pak Kepala Desa tersenyum simpul.
“Lantas kau mau apa datang kemari?”
“Saya ingin bapak maklum dan memberi pengertian pada pihak Hasim dan Imam tentang jempolnya yang telah remuk dan cacat. Kemudian, diminta agar orang-orangnya tidak saling bermusuhan. Untuk sama-sama berdamai, menghentikan permusuhan. Sebelum korban terus bertambah.”
“Hanya itu?”
“Mungkin”
“Kau akan maklum jika itu menimpa kamu?”
Jono diam sambil memandangi kakinya yang telanjang di atas ubin.
Permintaan Jono dikabulkan oleh Pak Kepala Desa. Mungkin karena Jono keponakannya atau karena ia pertimbangan lain tentang jempol.
Pertikaian masih terus berlanjut dan masing-masing pihak  tak mau mengalah dan menerima begitu saja perlakuan dari pihak lawan. Sebenarnya mereka telah lelah dihinggapi rasa was-was setiap saat. Dibebani rasa untuk selalu berhati-hati di setiap tempat. Mereka ingin segera mengakhiri pertikaian yang terus menambah jumlah korban. Tapi, rasa gengsi yang ada di dada menghalangi mereka untuk terlebih dahulu mengalah dan mengajak damai.  Meski selama ini mereka tampak akur satu sama lain, sebenarnya masing-masing punya rasa permusuhan. Dan Jono telah menyulut sumbu api permusuhan.
Korban terus bertambah dari waktu ke waktu. Mereka tak lagi melukai sembarang tubuh si korban, kecuali jika si korban melawan. Mereka hanya mengincar jempol untuk diamputasi paksa atau diremukan. Rasa patriotisme kedaerahan tempat tinggal telah ikut membakar amarah mereka. Banyak orang di kedua kampung itu yang banyak diantara mereka masih punya ikatan darah, telah tak punya jempol lagi. Banyak yang sama sekali hilang dan banyak pula yang cedera dan cacat hingga tak pantas untuk diacungkan untuk memuji seseorang.
Kubu Imam dalam menyerang lawan pun tak hanya orang yang ikut melukai dirinya. Semua orang yang dekat dengan Hasim berupaya membela diri bila diserang oleh kubu Imam. Kubu Imam juga menyerang Jono dan orang-orangnya seperti pada Hasim.  Ketika perlawanan dari Hasim  bertambah kuat  dan solid, Imam mengadakan perdamaian dengan Jono untuk kemudian menghadapi lawan dari kubu Hasim yang lain kampung. Meski begitu Imam masih tetap punya rencana  memotong jempol Jono jika kubu Hasim  bisa diatasi. Jono dengan berbagai cara masih  berhasil menyelamatkan  jempolnya dan itu masih menjadikan orang-orang marah, karena Jono-lah yang biang dari segala perseteruan yang mengincar keberadaan jempol. Setiap hari, setiap waktu orang-orang itu selalu disibukkan dengan masalah: bagaimana cara menghabisi jempol  lawan.
Cara mereka mengerjai jempol kemudian berubah, dengan tak lagi mengamputasinya, tetapi dengan cara hanya membuat si jempol cacat, cedera dan tak pantas jika diacungkan untuk menunjukkan sesuatu itu bagus. Itu mereka anggap lebih ringan dan tak sadis.
Jono masih bisa mempertahankan keberadaan jempolnya. Ia menyadari jika suatu saat nanti pasti ada orang yang mempermasalahkan keberadaan jempolnya. Jempol-jempol sebagian penduduk  desa itu telah buntung dan sebagian  yang lain cacat dan jelek. Itu membuat orang tak bisa memegang benda dengan sempurna.
Permusuhan terus berlanjut dan sulit ditebak kapan berhentinya. Sebagian orang yang jempolnya masih selamat  menyembunyikan jempolnya dengan cara dibalut kain perban agar seperti luka yang belum sembuh atau berusaha tidak terlihat oleh orang lain.
Saking lamanya perseteruan dan perburuan jempol itu, sampai-sampai orang yang jempolnya masih utuh, tak lebih dari sepuluh orang. Termasuk Kopral Jono pun tak bisa mempertahankan jempolnya. Jempol Jono dihantam dengan  batu sebesar kepala ketika  ia sedang tertidur kecapaian di pos ronda. Karuan saja  Jono marah-marah dan ngamuk. Semua orang yang berada di pos ronda  itu berlagak tak tahu dan tak memperdulikan  Jono. Ketika Jono membabi buta, orang-orang segera meringkusnya dan diamankan.
Mereka yang jempolnya masih utuh adalah: Kepala Desa, Danton Hansip, tiga orang Kepala Dusun dan empat tokoh masyarakat. Pak Sekdes pun jempolnya sedikit cacat karena salah sasaran dan terselamatkan ketika orang melihat wajahnya dengan jelas. Maklum saat itu malam hari.
Jono tak berhasil mempertahankan jempolnya. Jono bikin ulah kembali. Untuk berbicara dan meyakinkan orang, Jono memang jagonya. Ia kembali datang ke Kepala Desa untuk membicarakan masalah perseteruan antar kampung dan   di seluruh wilayah desanya  karena saling memburu jempol. Ia minta untuk dikumpulkan aparat desa dan tokoh masyarakat guna bermusyawarah.
“Maaf, Pak. Sebelum saya minta maaf. Dulu saya berbohong kalau ketika saya memartil jempol Hasim itu karena sebuah keinginan yang timbul begitu saja dan tanpa ada maksud apa-apa.
“Saya melihat orang-orang telah begitu  tergila-gila untuk mendapatkan acungan jempol  dari seseorang. Apalagi kalau orang itu orang penting, seorang tokoh, seorang pejabat,. Saya pikir kalau organ manusia yang telah membuat orang tergila-gila dihilangkan, dimusnahkan, maka tak ada lagi orang yang berbuat apa saja dan tak peduli orang lain, demi untuk mendapatkan acungan jempol. Persaingan itu saya lihat sudah tak sehat dan tak memperdulikan rakyat banyak.”
“Terus?” kata pak Kepala Desa.
“Saya minta Bapak untuk mensosialisasikan hal ini kepada seluruh penduduk desa ini. Mensosialisasikan bahwa, dengan keadaan jempol kita yang sekarang, sebagai pertanda acungan jempol, bukan hal yang perlu dipentingkan. Dan sekarang jempol mereka juga tak pantas untuk diacungkan. Saya pikir demi untuk keseragaman, juga bukan hanya sekedar itu, demi kebersamaan rasa dan jiwa, jempol Bapak juga harus dipotong atau dibikin cacat  seperti penduduk yang lain. Termasuk pak Danton Hansip, tiga Kepala Dusun dan tokoh masyarakat itu. Oh ya, pensosialisasian tentang;  bagaimana  hidup berdampingan mencari makan tanpa berseteru, tanpa saling sikut dan sikat untuk mendapatkan acungan jempol. Itu yang penting!”
“Jadi kamu mengajak musyawarah hanya untuk orang yang jempolnya masih utuh?”
“Oh tidak. Saya minta aparat desa dan tokoh masyarakat dan semua penduduk desa kita. Cuma itu sebuah kebetulan  kalau mereka jempolnya masih utuh. Kalau masih ada orang yang masih berjempol tentu orang masih saja berebut mendapat  acungan jempol  dan itu akan berakibat tidak baik, karana persaingan kita-kita belum sehat.”
“Jadi kau dulu memang berencana menghabisi jempol karena kau punya keinginan seperti yang kau katakan tadi?”
Jono merngangguk.
“Dan akibatnya sekarang orang-orang tak lagi bisa memegang sesuatu dengan sempurna. Kau melihatnya?”
Jono terdiam sebentar.
“Ya Pak.”
“Ajakan musyawarahmu untuk meminta saya dan orang yang masih punya jempol agar dipotong?”
“Bukan hanya itu….”
“Sudah! Sudah cukup rakyat berkorban waktu, tenaga, harta, demi untuk saling memburu jempol. Dan itu karena ulah kamu.”
“Tapi Pak, sekarang kan orang masih punya jari kelingking dan orang tentu tak mau jika diacungi jari kelingking. Mereka pasti akan bersaing demi untuk tidak mendapatkan acungan jari sialan itu.”
“Oh begitu.”
“Iya Pak!”
“Lalu?”
“Ya harus diantisipasi. Caranya, dipotong atau dibikin cacat jari kelingking itu. Sama seperti jempol.”
Pak Kepala Desa menghisap asap rokok dalam-dalam sebelum kemudian menenggelamkannya dalam asbak. Tangannya memberi isyarat pada seorang pesuruh kantor dan seorang hansip untuk mendekat.
“Potong jari kelingking Jono. Semuanya! Kanan kiri!”
Jono terhentak dan hendak membela diri. Tapi, Pak Hansip yang berbadan tegar dan kekar telah menyekapnya kuat-kuat. Jono tak berdaya dan pisau mengkilat putih terhunus di tangan pesuruh kantor. Kres. Kres.
Jono menjerit-jerit. Berjingkrakan kesakitan. Darah menetes di lantai, terciprat juga ke sepatu Pak Kepala Desa.
“Cukup darahmu yang menetes Jon! Bukan darah rakyatku yang tak tahu menahu.”  ***  
                                                                                    Januari 2004   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar