Label

Senin, 10 Desember 2018

MENJUAL SOEHARTO



djayim.com
Selalu ada pro dan kontra terhadap sebuah kepemimpinan. Selalu ada yang merasa senang dan tidak senang terhadap sebuah ruang dan waktu dari sebuah rezim. Yang merasa senang dan diuntungkan, akan membawa seabrek argumen kalau apa yang disenanginya beralasan, dan juga sebaliknya. Perasaan suka itulah yang bisa dibangkitkan lagi dengan menempatkan pada ruang memori kerinduan dan romantisme masa lalu. Romantisme ini akan timbul dan menjadi lebih berasa jika sudah ditinggalkan dan ternyata keadaan yang diharapkan tidak seperti dalam angan-angan.
Menjelang pilpres 2019 yang akan digelar pada 17 April 2019, nama Soeharto nampaknya laku “dijual” untuk mendulang suara pada saat pemilu. Presiden kedua Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun dalam masa yang disebut orde baru, tumbang di tahun 1998 karena krisis moneter dan ketaksanggupannya mempertahankan kekuasaan dari para lawan politiknya yang sudah sedemikian gatal untuk segera mengganti rezimnya. Lahirlah kemudain apa yang disebut orde reformasi. Kran demokrasi yang selama orde baru mampet, dibuka lebar-lebar dan semua orang berkoar-koar meneriakan segala ide dan kegundahan. Rakyat Indonesia seperti merasa sudah sampai pada pintu gerbang sebuah hamparan taman dengan segala keindahan dan kesejahteraan bagi seluruh penghuninya.
Dua puluh tahun orde baru tumbang dan reformasi yang diawal-awal begitu bangga disebutkan, tak juga membawa Indonesia pada keindahan impian ketika lepas dari orde baru, tak ada lagi sebutan orde reformasi atau reformasi digaung-gaungkan atau diagung-agungkan. Harapan-harapan itu entah kemana, mengambang seperti tak tergapai. Mereka yang dulu berteriak “reformasi” sibuk mengurusi dirinya dan kelompoknya masing-masing. KKN yang di jaman orde baru begitu dimusuhi dan dijadikan alat untuk menyerang rezim masa itu, tetap saja sekarang ada dan tak jauh beda, hanya bentuk dan caranya yang lain. Bisa juga malah lebih parah. Mereka yang dulu ‘disandangi’ gelar aktivis, berlari berebut kursi kekuasaan dan duduk manis dikursi menikmati hidangan lezat di meja di depannya. Berteriak membela rakyat, hanya sebagai anak tangga untuk menggapai cita-citanya. Lepaslah ‘gelar’ aktivis, karena mereka hanya berkedok saat merebut kekuasaan dari pesaingnya agar mendapat simpati dari rakyat yang terbohongi.
Arus informasi yang di masa orde baru mampet karena media masa hanya sebagai corong pemerintah, sekarang tak jauh beda. Media massa hanya berkabar tentang pemerintah karena owner-nya sedang punya hajat untuk memenangkan petahana, tentu dengan tujuan kekuasaan dan hidangan roti yang akan didapat jika menang. ucapan yang baik dan benar hanya ucapan yang menjunjung dan mengagungkan petahana, selain itu itu, ada yang bersiap melaporkan dengan berbagai alasan.
Sebuah kondisi yang berlarut-larut dan tidak membuat nyaman banyak orang, akan melahirkan keinginan suasana baru atau keinginan untuk mebangkitkan romantisme lama untuk dihadirkan lagi disesuaikan dengan ruang dan waktu.
Berpuluh-puluh tahun PDIP selalu menghadirkan roh Soekarno dengan dibumbui retorika untuk menarik simpati rakyat. Gambar, kata-katanya, pidatonya dan tulisannya dibawa-bawa kemana-mana agar orang yang merasa satu ide dan satu nasib tetap bertahan dalam kelompoknya untuk kepentingan kekuasaan. Bahkan di jaman Soeharto, gambar Soekarno seolah sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa.
Sesuatu yang hilang dan harapan baru yang tidak seperti yang ada di angan-angan, membawa orang pada suasan masa lalu kemudian menghadirkannya dalam emosi romantisme; ‘seandainya dulu....”. Bagi keluarga Soeharto, kerabat, orang dekat, orang yang diuntungkan saat Soeharto berkuasa dan semua yang merasa ternyata sekarang tak lebih baik dari era Soeharto, menghadirkan sosok Soeharto dirasa bisa menjadi magnet untuk meraup suara pada pemilu April 2019 nanti. Jika tak ada aturan yang melarang ‘menghadirkan’ seorang tokoh masa lalu, ini sah-sah saja. Perhitungan untung rugi menjadi pertimbangan, apakah menghadirkan roh dan karisma Soeharto, akan mendapatkan suara melimpah atau malah sebaliknya.
Karisma Soekarno telah terbukti membawa Megawati dengan partai PDIPnya sebagai salah satu partai besar yang sekarang menjadi penguasa. Ini juga menjadi masa pembuktian apakah karisma Soekarno yang diagung-agungkan oleh pendukungnya dan dipertahankan ‘terus hidup’ berhasil mengangkat Indonesia dan menjadikan rakyatnya hidup makmur sejahtera di tanah kepulauan yang gemah ripah loh jinawi. Jika banyak rakyat yang kecewa, akan ada peralihan suara ke kelompok yang lain yang salah satunya menawarkan roh dan karisma Soeharto.
Para politikus yang tidak setuju dan memperlihatkan penolakan, justru memperlihatkan kepanikan, paranoid. Tak perlulah berkoar-koar kalau masa rezim Soeharto buruk. Rakyat tahu dan bisa memilih dengan tanpa ada campur tangan ide dan pendapat dari luar kepalanya, apalagi dari luar kelompoknya. Menunjukkan penolakan yang masif dan terus menerus, akan menjadi blunder. Tak perlu dijelaskan panjang lebar tentang kejelekan Soeharto dan era Soeharto, karena rakyat kebanyakan juga sudah tahu. Dan dalam menentukan pilihan, pasti sudah punya pertimbangan. Sedikit sekali suara rakyat yang terpengruh oleh pendapat orang lain untuk berganti pilihan, meski banyak politikus yang berpindah partai dan berganti dukung mendukung.
Jika menjual Soekarno bisa menang dan berkuasa, menjual Soeharto, kenapa tidak? Jika era sekarang yang partai penguasa selalu mengusung roh dan karisma Soekarno, rakyat merasa nyaman, damai, sejahtera, adil dan makmur, maka ‘menjual’ Soeharto dengan berbagai cara apa pun, akan sulit mengalahkan.
Kita lihat saja.
10 des 2018







                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar