Label

Jumat, 05 Oktober 2018

RATNA SARUMPAET


djayim.com
Ketika seorang Ratna Sarumpaet, saya baca di sebuah berita, masuk dalam tim kampanye capres cawapres Prabowo – Sandi, saya kecewa. Sebuah kekecewaan yang biasa dan sama sekali tak berpengaruh pada konstalasi perpolitikan di Indonesia. Kekecewaan seorang saya tak ada yang mendengar dan tak akan ada yang merasa perlu untuk memperdulikan. Inipun sekedar pengin ditulis dan berungkap rasa. Kekecewaan ini pun bukan karena saya berharap Ratna Sarumpaet menjadi bagian dari tim Jokowi – Ma’ruf. Kecewa saya hanya keinginan untuk melihat selalu ada sosok yang berani tetap diluar kelompok politik yang tetap konsisten kritis pada situasi dan rezim apapun. Dan Ratna Sarumpaet, saya lihat selama ini konsisten berada di luar penguasa, siapapun penguasa, dan selalu memberi kritikan dan pandangan sebagai seorang aktivis.

Meskipun ketika Ia baru masuk dalam daftar tim kampanye Prabowo – Sandi yang bukan penguasa, dengan bergabung dengan salah satu kubu politik yang sedang bertarung memperebutkan kursi kekuasaan, netralitas sebagai aktivis akan hilang dan kecenderungan untuk membela kubunya semakin besar yang menggerus obyektivias dalam berprespektif. Di akhir tahun 90an, ketika Orde Baru dengan pemimpinnya seorang Soeharto yang bangunan kekuasaannya begitu kokoh dan kemudian muncul para aktivis-aktivis muda yang dengan berani melakukan perlawanan, saya begitu kagum ada orang yang berani menentang hegemoni kekuasaan Orde Baru, memberikan kritikan, melakukan pergerakan dan perlawanan. Dengan didukung oleh sebagian besar rakyat dan kondisi perekonomian yang buruk, Soeharto dan jaringan kekuasaannya tumbang.

Banyak yang berharap Indonesia akan menjadi lebih baik dengan berlandaskan demokrasi yang diagung-agungkan dan lahirlah sebuah orde yang disebut sebagai orde reformasi menggantikan orde baru yang sepertinya telah membosankan bagi sebagian kalangan yang tak ikut menikmati kue kekuasaan. Sistem kekuasaan yang dipakai orde baru dirubah dan diedit sana-sini. Dan para aktivis muda dari kalangan mahasiswa, tampak mulai merapat pada kubu-kubu partai politik dan ikut aktif berebut kursi kekuasaan. Dan bagi saya, saat mereka mulai masuk politik, label aktivisnya mulai hilang dan laun berubah muncul sebutan menjadi seorang pemberontak yang berebut kursi kekuasaan. Saat di awal, sepertinya mereka membela rakyat, tapinya nyatanya mereka sedang manaiki satu persatu tangga kekuasaan. Mereka sedang ingin mengganti kekuasaan yang dikuasai orang lain agar bisa dikuasai olehnya.

Dan Ratna Sarumpaet adalah salah satu aktivis yang konsisten di luar kekuasaan, seperti tak tertarik untuk ikut berebut kursi empuk kekuasaan, sampai kemudian bergabung dengan tim pemenangan capres cawapres Prabowo – Sandi. Begitu Ia bergabung, cap aktivisnya mulai luntur.

Dan, yang lebih menyedihkan lagi, Ratna Sarumpaet membuat hoax tentang pengakuannya dipukuli orang tak dikenal di sekitar bandara Husein Sastranegara Bandung pada tanggal 21 September 2018. Walau kemudian Ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf, kelakuannya ini menjadi hal terasa lebih menjijikan karena Ia bergabung menjadi tim kampanye, sebuah tim untuk berebut kekuasaan. Beredar kabar juga, Ia menggunakan rekening yang pernah digunakan untuk menampung bantuan bencana tenggelamnya kapal di danau Toba sebagai biaya operasi plastiknya, saat bersamaan ketika Ia mengaku jadi korban pemukulan. Jika pun uang yang tersimpan dalam rekening untuk biaya operasi plastiknya uang pribadi, kecurigaan publik langsung pada tuduhan yang tidak baik; ‘ia menggunakan dana bantuan untuk keperluan pribadi yang tidak perlu’.

Ranah politik telah membawa pada suasana saling menyerang dan saling mencari peluang untuk menjungkalkan lawan dan berebut simpati rakyat. ‘Kawasan politik telah meleburkan seorang yang disebut aktivis menjadi pencari kursi kekuasaan’. Dengan sendirinya, label aktivis yang tertera pada seorang aktivis, akan hilang ketika ia memilih untuk mencari jalan agar bisa duduk di kursi kekuasaan. Apalagi ketika sudah duduk dikursi legislatif atau kursi eksekutif dari sebuah partai, ia membela semua keputusan rekan partainya dengan berbagai alasan dengan tujuan kursinya dan kursi rekan-rekannya tetap lama bisa dinikmati.

Aktivis sejati tak pernah mau masuk pada lingkaran kekuasaan dan akan tetap mengkritisi setiap rezim yang dianggapnya tidak berpihak pada rakyat yang baik dan perlu dibela.

Aktivis yang kemudian dalam perjalanannya bergabung pada kubu politik adalah politikus yang dari awal menyamar untuk ikut berebut kursi kekuasaan. Aktivis sejati, jika pun Ia dipilih jadi pejabat oleh pemenang perebutan kekuasaan, Ia takkan pernah takut kursi kekuasaan hilang jika harus berkeputusan membela rakyat, membela bangsa dan negara.

Adakah akitivis sejati itu?
5 Oktober 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar