“Kun, apa yang kau suka dari GP Inggris di sirkuit
Silverstone, semalam?”
“Pas wawancara Maverick Vinales, Rossi.”
“Lho..”
“Iya. Bener, saya sangat suka mereka, Vinales, Marques, Lorenzo,
kalau di wawancarai wartawan tetap pe-de dengan bahasa Inggris ber aksen
Spanyol. Atau kalau Rossi tetap beraksen Itali saat ngomong.”
“Terus, maksudmu?” Jawir tidak tahu arah pembicaraan Raskun.
“Lha, kamu pernah nonton nggak. Di tivi yang judulnya lagi
lomba nyanyi, lafal bahasa inggris yang dinyanyikan peserta di tertawakan oleh
juri. Nyanyi kan soal, seni tarik suara, soal kesusaian nada musik yang menjadi
kesatuan lagu. Kalau soal lafal, tak perlu menjadi hal yang di tertawai.”
“Oh.. gitu yah Kun.”
“Iya!”
“Itu kan haknya para yuri. Makanya kamu jadi jurinya.”
“Coba, berani nggak, mereka menertawai Arkarna yang nyanyi
Kebyar-kebyar dengan aksen Inggris, nggak pakai aksen Indonesia.”
“Nggak nasionalis yah Kun?”
“Yoi..”
“Ya sudah, saya juga prihatin dengan generasi kita,” ujar Jawir ingin segera menyudahi.
Beberapa saat lengang, Kasrap dan Gondrong hanya diam. Menunggu
cerita kembali lagi ke soal motor GP.
Dan jawir memulai lagi.
“Ketika Rossi dan Marques saling salip berhimpitan. Idiih...
mantap dan bikin jantungan.”
“Kalau Marques dan Cruthlow saling salip, kamu nggak
jantungan?”
“Ya jantungan dong. Kalau nggak jantungan ya mati dong.”
“Terus, kenapa hanya Rossi dan Marques saja yang bikin kamu
deg-degan.”
“Saya mengidolakan Rossi. Mungkin kalau Rossi sudah pensiun
saya nggak nonton GP lagi.”
“Kan, akan muncul lagi pembalap yang lebih menghibur lagi
nanti. Marques, Vinales, Cruthlow, Jack Miller.”
....
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar