MAU KEMANA
Betapa sibuknya dunia. Terburu-terburu, tergesa, berlari, ngebut. Waktu dianggap berjalan terlalu lambat. Saya tertegun. Ruas jalan yang lebar dan panjang seperti kurang tempat, kurang lebar, sempit. Suara knalpot saling menyapa, saling menderu melepas dendam. Sebagian besar merasa paling penting dan paling buru-buru, hanya sedikit yang menikmati perjalanan.
Dengan
bendera putih di ujung sebuah bilah, saya mulai menyetop satu persatu mereka yang
melintas. Tak ada tanda di depan ataupun di belakang saya. Yanso, teman saya
ikut membantu. Saya tanya dan saya rekam di HP yang sudah saya siapkan baterai
dan ruang simpannya, setiap orang yang berkendaraan ataupun yang jalan kaki. Yanso
yang berbadan gempal, tinggi 165, berambut cepak menantang langit, dengan wajah
kaku menghentikan agak paksa pengendara yang berusaha lolos.
“Anda
mau kemana?”
“Saya
mau nganter anak sekolah Pak.” Suaranya datar. Anak lelakinya yang berseragam
SD mendorong pundak ketakutan terlambat.
“Bapak
habis berantem di rumah?”
“Bukan
urusanmu!” Gas motornya diputar cepat. Melaju hampir melompat. Anaknya kaget
dan hampir terpental. Yanso mebuka bibir tertawa sedikit.
Ada
yang lolos dari hadangan kami. Berlari sambil mengumpat menjijikan. Kami cuek
dan sedikit tertawa di hati. Yang nampak tenang dan sabar saya hampiri,
“Hati-hati Pak, jangan ngebut, keluarga tidak menginginkan anda jatuh, terluka
dan cidera.” Dia hanya tersenyum, entah maknanya apa. “Silahkan lewat Pak.”
Seorang
yang bermuka sangar, memakai rompi jeans warna biru, lengan yang besar dan
kepal sebesar pepaya, berhenti dan berdiri. Yanso menghadapi tepat di depan
mukanya, saya mendekat tenang. “Kau mau apa? Jagoan kamu?” Saya pegang ujung
rompinya dibawah dagu. Ia diam tertegun, saya tambah percaya diri. “Mau ke mana
kamu?” Dia menjawab dengan sedikit gemetar, “njemput istri, Pak.” “Oke, jalan
kamu! Cepat!” Dia memacu motornya dengan cepat, suaranya menyemburkan kemarahan
yang tertahan. Tak ada lagi yang memamerkan muka sangar. Semua terunduk, lesu
dan pasrah. Helaan nafas kesal disembunyikan meski tetap menimbulkan bunyi yang
terdengar menjadi bergemuruh, seperti suara dari dasar laut yang menyeruak
membubung ke langit.
Jalan
jadi macet total. Tak ada pergerakan di
titik awal. Pengendara dari arah
berlawanan yang awalnya mencari celah untuk bisa lewat, malah terjebak tak bisa
bergeser. Tak bisa mundur, tak bisa maju. Bahkan sekedar untuk bergeser lima
centi pun tak bisa. Di belakang, kendaraan mulai mencari jalan alternatif, dan
bertemu juga dengan kendaraan lain dari arah berlawanan. Kemarahan membubung ke
langit. Ribuan nafas melepas kesal
menggema seperti auman raksasa penelan bulan yang kesal karena kalah.
Mereka
turun dari kendaraan, meneguk air minum, jalan mencari tempat berteduh dan
duduk. Raut wajah pasrah berandar pada tembok, pagar, tiang listrik dan batang pohon yang membisu. Semua rencana
dilupakan, di buang ke langit. Panas matahari semakin tajam dan tega membakar
tanpa peduli. Saya berjalan lewat celah-celah yang bisa dilewati, Yanso
mengikuti. Saya rekam semua keluh kesah mereka. Masuk semua dan dapat saya
tangkap. Mesin-mesin di matikan. Jalan sudah puluhan kilo tertutup motor dan
mobil dari dua arah. Tak bisa pulang, tak berangkat.
Sekolah-sekolah
sepi, kantor-kantor, toko-toko sepi, pasar-pasar sepi. Tak ada yang sampai pada
tempat tujuan. Tak ada yang sesuai rencana. Semua diam dalam kekesalan. Sedikit
mondar mandir dan berhenti ketika menyadari tak ada gunanya. Menunggu ada celah
jalan untuk lewat. Menunggu dari arah mana akan ada jalan untuk keluar.
Haus
mulai mencekik. Panas semakin tega menyiksa, pohon-pohon tempat berteduh sudah
tak bersisa tempat. Anak-anak mulai menangis kelaparan dan haus. Dan,
rumah-rumah mulai ditutup ketakutan dibuka paksa. Ini menjadi hal yang bukan
biasa. Satu dua jam menjadi waktu yang begitu lama, tak dimengerti dan
menyiksa.
Beberapa
orang mulai datang menerobos celah-celah menawarkan air minum dan makanan.
Mereka yang terjebak berebut membeli, dan harganya berlipat-lipat. Ada yang
marah, ada yang pasrah membeli. Berebut, bertubrukan. Sesaat, semua habis
terjual. Para penjual segera mengambil lagi barang dagangannya, menjualnya
dengan harga lebih tinggi, habis, mengambil lagi, menaikkan lagi harganya. Ini
menimbulkan kemarahan, meski awalnya bisa di redam, rasa capai menjadi sumbu
untuk meledakkan emosi. Mereka dihabisi, tak terberdaya, tak tersisa,
diporak-porandakan semua yang dibawa. Terkapar, berdarah-darah dibiarkan.
Menjadi tontonan dan bahan cemoohan yang terus menerus bergantian, ada juga
yang meludahi dengan amarah.
Mereka
mengharap ada mendung di langit agar matahari tak memapar tak berbelas kasihan.
Keringat habis dan mengering di badan. Menjelang tengah hari, masih tak ada
solusi. Suara sirene dari mobil polisi yang berusaha mengurai kemacetan,
terdengar jauh tak bisa masuk, malah menambah lagi jumlah kendaraan yang
terjebak. Tak bisa masuk tak juga bisa keluar. Raungan sirene malah menjadi
pengiring tangisan yang terus meluas.
Setiap
detik kendaraan yang terjebak terus bertambah, terus dan terus. Semakin meluas,
semakin lebar tepiannya. Di pinggir yang bisa terjangkau, bantuan air minum dan
makanan mulai ada. Para pahlawan datang dengan ramah dan semangat. Di bagian
tengah, bantuan datang lewat udara, dengan helikopter dan balon besar yang
dikendalikan dengan remote control. Para penerjun payung melayang membawa
minuman dan makanan. Memberikan harapan hidup.
Ketika
semua merasa haus dan lapar dengan
ketakutan tak dapat bagian air dan makanan, terjadilah perebutan. Rasa ingin;
‘saya harus mendapatkan lebih dulu’ masuk ke setiap kepala. Rasa ingin; ‘saya
harus mendapatkan lebih banyak’ merasuk ke semua orang. Wajah-wajah menjadi
beringas. Anak-anak ketakutan menangis di ketiak ayah atau ibunya. Teriakan
mulai menusuk gendang telinga. Dan, satu suara knalpot terdengar menderu,
meraung-raung dengan segera diikuti knalpot-knalpot yang lain. Asap dari ujung-ujung knalpot membubung, menusuk
hidung masuk ke paru-paru, membakarnya. Sampai, tak lagi ada teriakan yang
terdengar. Emosi menguasai setiap ego. Air minum dan makanan tak ada yang utuh
dan menjadi awal malapetaka baru. “Jika saya tak mendapatkan, yang lain juga
harus tak dapat.”
Semua
makanan dan minuman yang ada, diperebutkan. Bertebaran dan rusak. Tak termakan,
tercecer sia-sia. Tak ada yang dapat dimakan, tak ada yang dapat diminum.
Menjadi sampah, menjadi bahan senjata untuk saling melempar. Keberingasan
muncul dari setiap orang dengan sepenuh kekuataannya. Kemarahan membubung ke
udara, membakar semua yang ada di bawahnya. Tak ada yang dapat meredakan. Semua
saling menyerang dan bertahan; menjadi pemenang atau menjadi pecundang. Tak ada
yang au mengalah, tak ada yang mau berhenti menyerang. Sampai malam, sampai
gelap dan lampu-lampu tak satupun yang menyala.
Dan,
tak ada yang bisa bertahan lebih lama dengan kelaparan dan kehausaun. Hanya
soal waktu; satu persatu mereka tumbang, menggelosor, bersandar pada pohon,
tembok, tiang dan merebah pada tanah. Tak bersuara, diam, hanya nafas yang
mulai memelan dan jarang-jarang. Beruntung hanya sedikit turun gerimis untuk
sekedar membawa hawa adem. Para pencari berita dan pembuat konten untuk media
sosial hanya bisa memfoto, upload, dengan tanpa judul dan tanpa keterangan, pun
tanpa ada link penandaan lokasi. Dan, segera saja menjadi ledakan berita yang
muncul di semua perangkat digital. Para relawan yang ingin segera menolong dan
pihak yang berkewajiban, mengutuk pemuat berita yang tak mencantumkan lokasi.
Jutaan pertanyaan tak ada yang terjawab. Semua hanya mengira-ira.
Saya
merekam semuanya. Yanso tak kalah sibuk. Semua sisi menarik untuk dunia maya di
rekam. Dipersiapkan juga rekaman momen-momen yang akan di kasih keterangan yang
mengandung bawang dan yang akan membakar emosi. Semua terekam tak terlewat.
Dunia maya terlalu sibuk; bertanya, meminta,
memerintah, menyalahkan, berkelakar, mengutuk, memaki, memprovokasi, marah.
Semua merasa sama pada satu kubangan posisi dan emosi. Sebuah percakapan dan
pelampiasan tanpa batas negara, tanpa batas pantai, menyatu dalam payung langit
yang sama. bertabrakan dan mengira-ira dengan argumen yang diciptakan sendiri
tanpa peduli apa yang terjadi sebenarnya.
Tak
sampai tengah malam, para sukarelawan dan petugas yang berkewajiban menolong,
berdatangan. Sigap dan cekatan. Air minum dan makanan tersampaikan dengan baik.
Nafas dan amarah sudah reda. Wajah-wajah kembali segar dan mata kembali melihat
normal. Lampu-lampu sudah menyala, terang benderang. Para pahlawan mengerumuni,
berempati dan tak lupa memfoto diri sebagai bukti. Semua terlibat, semua terasa
senang, merayakan, memposting tentang kebaikan, tentang rasa kemanusiaan dan
tentang ‘bagaimana jika tak segera tertolong’.
Satu
persatu mereka pulang, membawa cerita, membawa berita. Dan, banyak pula yang
penasaran tentang kejadian dari awal. Beberapa orang menedekatiku, juga Yanso,
berbisik tentang keinginan menyalin semua rekaman. Aku dan Yanso berdiam, tak
bicara, tak peduli dan belum merasa menjawab, meski akhirnya bertanya, “untuk
apa?”
“Banyak
drama dan sejarah yang bisa kami ciptakan dari kejadian tadi.”
“Berapa
kau berani bayar?”
“Jika
kau mau, kita bagi hasil. Kita bikin perjanjian. Kau akan terkejut nanti
hasilnya.”
“Hasilnya
berupa uang?”
“Bisa
iya. Dan yang lebih dahsyat, hasil dari selain uang.”
Aku
dan Yanso pergi tak berpamit. Tapi dua orang itu ngotot menahanku. Memaksa,
wajah ramahnya berubah menjadi sangar seperti mau menelan utuh seluruh badanku.
“Saya nggak bawa apa-apa. Silahkan di cek.” Mereka tidak tahu handphone sudah
saya sembunyikan dengan rapi di bak sampah sebelah jembatan.
Wnj, 16:34 07112025

Komentar
Posting Komentar