Anjing (5)
Seorang dengan tingkah tak biasa, mendatangiku. Seekor anjing mengikutinya.
“Kau lapar?” dia diam saja. Sorot matanya tak bisa ku baca.
Anjingnya membalas tanyaku, “Apa tampang kami begitu?”
“Saya hanya menawarkan saja. Barangkali begitu.”
Orang itu dia saja, menikmati angin dan kibasan ekor anjing.
“Kau tampaknya seperti kami, maka kami dekati. Kita bisa bersama.”
“Saya seperti kalian?”
“Kau merasa waras?” pertanyaan dengan nada
menjijikan. “Kau memaksa diri untuk tampak selalu seperti baik pada orang
yang kau anggap penting.”
Saya tercenung. Mungkin anjing itu benar. Tapi, dia itu
anjing, dia anggap saya seperti caranya. “Perbaiki caramu menjilat saja. Nggak
perlu bernasehat.”
“Betul. Jangan seperti saya jika tak ingin gila. Saya sudah
terbiasa dengan senang dan kecewa. Berpura-pura senang dengan kekecewaan. Berpura-pura
kecewa padahal senang jika sesuai niatku.”
“Hebat kamu. Kamu bahagia dengan begitu?”
“Ya. Ini lakon yang kujalani. Lakon yang ku pilih,
pilihan dengan segala resiko. Lihatlah lidahku yang sudah halus dan meyakinkan.”
“Sudah, pergi sana. Saya nggak butuh nasehat hewan seperti
kamu.”
“Kau perlu nasehat dari seekor kucing?”
“Diam!” saya beringsut pergi berniat meninggalkan mereka.
“Jika kamu tak ingin gila seperti orang di sebelah saya, silahkan
pergi, atau, belajar sama saya. Nggak usah malu.”
“Diam.”
Anjing itu menggonggong seperti tertawa, orang disebelahnya
ikut tertawa seolah tahu apa di pikiranku, “diam!”
Mereka lebih keras bersuaranya.
09:47 22122025

Komentar
Posting Komentar