Label

Sabtu, 21 September 2013

Menyiram Rumput

Ketika musim kemarau, rumput didepan rumah saya sering kering karena kadang tak ada sempat untuk menyiramnya. Hal itu bisa saja terjadi karena ada keperluan pekerjaan sekitar dua tiga hari yang menjadikan saya tak pulang.  Meski rerumputan itu tak pernah minta atau merengek untuk di siram, saya selalu teringat untuk segera menyiramnya. Saya seperti ikut merasakan kesegaran yang dialami oleh rerumputan, seperti ada komunikasi bathin. Mungkin saja mereka berbicara dengan bahasa yang saya tak mengerti tapi dengan bahasa ketulusan kemudian sampai pada indera saya untuk menterjemahkannya. Komunikasi bisu yang aku juga tak bisa menerjemahkan itu menjasdi sesuatu yang menarik dan dinikmati.
Ketika saya pulang malam, sering saya menyempatkan untuk menyiram rumput di halaman rumah. Mungkin bagi orang lain itu hanya sebagi bentuk perawatan dan pemeliharaan yang rajin agar rumput selalu hijau dan tampak rapi. Padahal yang saya dapat lebih dari sekedar itu. Melihat rerumputan yang basah oleh air dan permukaannya memantulkan sinar lampu, memberikan pemandangan yang ajaib, menyejukkan dan menentramkan hati. Embun-embun yang tercipta dan menggelantung di pohon palem dan pohon lain di pot-pot menjadi sebuah lukisan yang selalu berubah pada waktu yang berbeda. Saya menyakini ada sebuah ucapan terimakasih dari rerumputan dan pepohonan yang mendapatkan air di dalam kehausana dan mereka memberikan saya sebuah rasa kenyamanan. Menyiram rumput, tanaman di pot-pot dan pepohonan menjadi sebuah kesenangan dan bisa saja dikategorikan sebagai hobi. Sehingga menjadi lupa kalau air yang saya tumpahkan berasal dari sumur bor yang perlu biaya untuk menyedotnya ke atas. Menjadi lupa dan menimbun empati, kalau ada banyak orang yang sedang kekurangan air bersih dan air menjadi hal yang istimewa di saat musim kering seperti ini. Tapi memang begitulah, sebuah kesenangan menjadikan lupa pada kegetiran orang lain.
Jika hanya dengan menyiramkan air pada tetumbuhan membuat sebuah kenyamanan dan kesenangan tersendiri, tentu akan berbeda rasa jika bisa menyiramkan kesejukan pada orang-orang yang sedang ‘kekeringan’. Dan tentu rasa itu, menjadi lebih nikmat jika ‘menyiram’ dengan jauh dari rasa ria dan sombong.

1 komentar:

  1. man musli detawani ngojeg ning iyong..alesan bae..jere.nggawa wedus wedus ikuh koh..ngojeg....trus yong ya njawab ...ra papa..de ojegna karo weduse ayuh...wedusetah ra usah mbayar ikih...rikane numpak trus wrduse de jiret ning begel trus delarak...trus man musli njawab...huh..karo mbari kesuh men delenge...ngomong nuruti lambe langka balungetah iya...trus nyong madan wedi trus nyetater motor cryptone...langsung ngenturit ngetan..ngetem ning pasar maning..

    BalasHapus