Label

Kamis, 14 Maret 2019

LANGIT-LANGIT KERTAS (sebuah cerpen)


soleh djayim

Sudah lama sekali aku tak mendengar namaku dipanggil. Bahkan seperti lupa siapa namaku. Tak ada yang mengenalku. Makan sedapatnya tak tentu, tidur dimana mata mengantuk. Berhenti selelah kaki melangkah. Nomaden, berganti-ganti jalan yang dilewati, berganti-ganti langit yang memayungi, berganti wajah tertemui. Semua tak peduli. Semua tak mengerti dan tak mau mengerti. Suara-suara asing silih berganti membawa hati dan pikiran ke alam yang tak dimengerti. Tak ada rasa jemu, tak ada rasa senang. Datar dan biasa-biasa saja. Mengalir seperti air di sebuah sungai besar ketika kemarau. Berjalan seperti angin dini hari yang lambat, dingin menusuk seluruh persendian. Belantara alam dengan segala fasilitas manusia yang terus menerus bertambah, terus menerus beragam. Selalu bising namun lengang di telingaku, selalu ramai lalu lalang tapi sepi di mataku yang kosong dimasuki sinar yang berpendar-pendar bergonta-ganti warna.
Ini sudah menjelang subuh atau masih dini hari, aku tak tahu. Tak perlu rasanya untuk mencari tahu waktu. Sama saja. Di lampu merah tempat biasanya aku mengamen dengan gitar kentrung tak tentu nada, sangat sepi. Aku hanya perlu sesuatu untuk bisa mengganjal perut agar bisa tidur dan melepas lelah sekujur kaki. Sebelum para pedagang, para pekerja keras, menyiapkan dagangannya aku harus sudah cukup tidur. Tidur menjadi sebuah kenikmatan luar biasa yang gratis tanpa perlu syarat ini itu. Tak ada tanda atau catatan identitas tentang aku. Aku bisa saja berpura-pura jadi orang gila agar tak dicurigai oleh orang-orang yang ketakutan kehilangan hartanya. Tapi untuk berpura pura agar tampak menjadi orang alim perlu waktu agak lama untuk belajar. Perlu pendalaman batin untuk itu. Dan itu hal yang mengasyikan menurutku. Semua tantangan adalah hal yang harus ditaklukan dan akan menjadi permainan yang tak boleh lewat setiap langkah perlangkah. Aku telah begitu banyak langkah dan jauh berjalan. Serasa semakin menjauh terhadap kedamaian dan keindahan mendekat pada sang pencipta.
Pagi menjelang siang. Meski kabut masih pekat menyelimuti langit, suasana pasar sudah mulai ramai. Aku tak cukup tidur malam ini. Pikiranku terasa lelah menggembara tak tentu arah. Seperti sudah tahu apa yang harus dikerjakan, kakiku melangkah menopang badan yang lunglai. Duapuluh meter lurus di depan pintu gerbang masjid, aku berhenti, duduk pada sebuah bangku di depan warung kopi tempat biasa orang duduk menyeruput kopi melepas lelah atau sekedar ngobrol bersama. Orang-orang yang datang ke masjid dengan memakai peci, baju koko dan bertapih sarung, melangkah tenang berselimut kedamaian memancarkan rasa optimisme di setiap desah nafas. Suara adzan subuh yang terdengar tadi telah membawaku ke masa kecil. Ketika menjelang maghrib kami berlari-lari menuju masjid untuk sholat maghrib berjamaah dan seusai shalat mengaji dengan dibimbing oleh ustadz Amri yang tampan dan cerdas. Aku sangat kepingin seperti dia. Semua polah tingkahnya mengesankan. Dimanakah dia sekarang. Aku ingin mengaji kembali. Masih ingatkah Ia padaku. Jika pun Ia lupa, aku sangat maklum. Tak ada yang mengenal aku sekarang.
  Desaku tempat aku di lahirkan dan menikmati masa kecil, sudah tak lagi mau menerimaku dengan ikhlas. Saya bukan orang yang cukup baik-baik sekedar memenuhi syarat minimal hidup dan tinggal di sana. Aku sangat kangen pada suasananya tapi aku telah berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Semua yang membuat saya terkenang telah dibuang secara perlahan, bahkan tentang cinta pun saya tak lagi mengenalnya. Usahaku untuk membuang rasa yang membuat hati selalu ingin bertemu dan bersama, dengan seorang gadis di desaku, sekarang telah saya hapus bersih namanya di hati. Hilanglah apa yang disebut cinta yang diawali pupusnya harapan untuk memilikinya. Siapa orang yang mau punya menantu seperti saya dan siapa wanita yang mampu menanggung malu punya suami sepertiku.
Tak apalah. Hidup harus tetap berjalan, dan mengakhiri hidup dengan membunuh diri adalah dosa besar yang masih saya takuti. Mungkin semacam takut para pejabat jika kehilangan kekuasaan. Dan rasa lapar yang sering saya tahan, tak membuat saya mati, bukan menjadi alasan untuk bertahan dan bermalas-malasan mencari uang. Mencari uang perlu keberanian dan kekuatan. Bahkan hanya sekedar memperoleh uang untuk makan sore pun, saya pernah hampir dibunuh. Sepertinya, menunjukkan kekuasaan menjadi sebuah kewajiban bagi mereka untuk bertahan. Mungkin saya terlalu sederhana membacanya; ketika tidak ada orang yang menarik uang parkiran di depan sebuah toko kain dan pakaian yang tak begitu ramai, saat itu gerimis cukup tebal, saya berinisiatif meminta uang parkiran. Satu dua sampai lima pemakai motor memberikan uang parkiran setelah saya hanya mendekat, sedikit membantu dan memberi aba-aba. Saat orang ke delapan, seorang yang agak tinggi kerempeng, menendang dari belakang dan membuat saya tersungkur mencium lantai. Sebuah belati kecil terhunus dan diacungkan  di mata, “mau mati kamu!?” Ia membentak dengan nada sangat mengancam. Saya melompat lari menabrak tembok pembatas pinggir jalan, terjerembab, bangkit dan segera berlari lagi. terus berlari sampai habis nafas dan berhenti di warung kecil untuk makan seharga lima ribu.
Dunia penuh dengan prasangka dan curiga. Saya menjadi orang yang seolah semua orang patut bercuriga. Menolong seorang ibu-ibu tua yang tersiksa membawa barang belanjaan di pasar, menjadi sebuah perhatian begitu banyak orang. Bukan merasa salut dan senang dengan saya menolong, tapi mereka mengamati setiap langkah, kalau-kalau saya mau membawa kabur barangnya. Maklum saja, karena pakaian saya lusuh, tidak bagus dan tak berkulit bersih. Jadi, pikirku, kalau mau berbuat jahat, berpakaianlah yang bagus dan bertindak santun bertatakrama. Dan niatku untuk menolong setiap ada yang perlu ditolong, akan saya lakukan, jika yang ditolong curiga dan takut, tak perlu dijelaskan niat baik saya. Batal menolong menjadi pilihan karena akan mengurangi beban ketakutannya.
Kadang enak juga di anggap orang gila. Secara sadar, berperilaku seperti gila menjadi cara agar saya di maafkan berbuat sesuatu yang dianggap salah. Bisa mendengar dan melihat kecurangan dan rahasia-rahasia kecil di setiap tempat. Di pasar, para pedagang yang mengurangi timbangan, mencampur barang beda kualitas atau menjual barang bekas yang dipoles menjadi seperti baru, bersandiwara harga dengan komplotannya untuk menjebak pembeli dan begitu banyak kecurangan yang sebelumnya tak saya mengerti. Saya jadi tahu, karena saya gila mereka tak perlu berrahasia. Yang datang ke pasar adalah calon korban, dan si korbang harus tidak sadar jika ia di jadikan korban dan akan kembali lagi membawa uang dengan senyum ramah. Di pinggir jalan, di warung emper toko, di angkringan, di tempat-tempat yang jika ada orang mereka tak berani bicara kecurangan, saya di anggap tidak ada dan tidak apa-apa mendengar.
Mereka yang culas, berpakaian bersih, bergamis dan bermuka kelimis, bersenyum sejuk, pandainya berakting. Bersembunyi, bersembunyi, bernyanyi menghibur diri, bernyanyi menyembunyikan diri. Saya tahu, mereka tak tahu. Saya menertawainya, mereka tak menganggap apa-apa tertawa saya.
Sebuah rencana pembunuhan di hadapanku. Seperti sebuah obrolan biasa, tanpa emosi, tanpa amarah. Di sebuah jembatan sambil mancing dan kopi yang di pesan di warung kecil di pinngir jalan yang hanya buka di malam hari. Saya mendengar dan tahu jadwal dan caranya. Saya sampaikan ke polisi di pos pertigaan lampu merah. Sebelum tuntas bicara, mereka mengusirku. Karena saya tak bersih jadi tak layak dipercaya. Saya di usir sebagai orang gila. Esok malamnya, yang mereka rencanakan terjadi, seisi kota heboh. Saya mendatangi polisi yang lain, memberi info, mereka mengusir sebelum kalimat kedua dimulai. Saya berlari ke pasar, mencuri pakaian di toko yang mudah di jebol, saya pakai dengan tergesa. Saya datangi kerumunan di TKP, mereka percaya, menjadikan informasi saya sebagi titik awal mencari pelaku. Esoknya dua pelaku diringkus.
Malangnya, saya ikut ditahan polisi sebagai saksi katanya. Ditanya macam-macam, saya jawab-jawab hanya dengan yang saya dengar. Mereka tak puas dengan jawabanku. Saya dianggap mereka-reka dan dianggap sebagai komplotannya yang sedang pecah. Beberapa nama kelompok dengan nama seram dikaitkan. Saya jawab tak tahu, dan jawaban ketaktahuan saya berbuah sebuah pukulan, “jika kau tak juga mengaku, kau akan mendapat lebih dari ini!”. Saya berpikir keras agar bisa keluar tapi tidak mendapat tekanan dan pukulan. Berpura-puralah saya gila. Dan berhasil, karena badan saya yang kotor dan bau. Sebelum melewati pintu, saya nyomot makanan yang ada di piring di atas meja ruang tengah. Saya kantongi sambil ketawa-ketawa seperti anak kecil. Saya makan sambil senyum-senyum.
Esoknya, saya ketemu dengan dua pembunuh yang di bebaskan. Keterangan dari orang gila tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, mereka pun bebas. Mereka mencari saya, tentu saya akan dibunuhnya. Beruntunglah, saya melihat lebih dulu sebelum mereka tahu. Saya bersembunyi dan lari, berganti baju, berganti penampilan, menuju kota lain terdekat. Berjalan tak tentu arah, tak tentu perasaan. Ternyata saya merasa masih perlu mempertahankan hidup, perlu menghindari sebuah ( mungkin ) rencana pembunuhan terhadapku. Kadang juga saya berpikir, pentingkah saya sehingga saya harus dibunuh. Dan untuk merasa tak terbebani saya memilih merasa menjadi tidak penting bagi orang lain. Tak mengertilah saya, kenapa harus tahu banyak sesuatu yang bagi orang lain sebuah rahasia besar. Tak percaya aku, sebuah pembunuhan besar yang kemudian menyeret tokoh papan atas negeri ini, saya dengar di taman kecil tempat para gelandangn beristirahat. Tanpa makanan dan minuman mahal, hanya dua botol air mineral dan dengan tampang dan bicara yang sederhana. Sebuah rencana penggulingan pejabat tinggi yang penampilannya selalu mengesankan, saya dengar ketika saya melewat di depan sebuah warung kecil di pinggir yang hanya buka di malam hari. Saya berpura-pura mengorek-ngorek tempat sampah mencari sisa makan. Mereka berdua di tikar terjauh, asik mengatur cara dan jadwal semua cara dan berita apa yang akan diturunkan pada saat tertentu yang telah disiapkan lengkap dengan pelakunya. Saya dengar semua, dan esoknya, muncul berita itu sampai kemudian tokoh itu benar-benar lengser berkalung simbol orang yang culas.
Opini sudah terbentuk dan kursi sudah mulai goyang, kaki-kakinya retak-retak mulai agak patah, Jika saja orang dekatnya yang ku temui dan kuceritai percaya apa yang aku dengar dan kuceritakan padanya, tak sampai hal itu terjadi. Semua berjalan dengan cepat. Kursi empuk itu mulai miring dan si empunya sudah panas duduk diatasnya. Tak perlu waktu tujuh hari, semua sesuai rencana yang saya dengar. Dan seluruh pelosok negeri telah men-capnya sebagai orang yang tak pantas menjadi seorang pejabat pengambil keputusan besar bagi negara. Rakyat telah menjadi hakim yang telah berhasil dibentuk oleh media yang terus berpropaganda demi kepentingan sang pembayar.
Ketika orang yang saya kasih tahu tentang rencana makar dan Ia tak percaya, mencariku, bertanya tentang siapa lagi target penggulingan, saya tertawa terbahak-bahak sambil berputar-putar, menari-nari, melompat kiri kanan, berteriak-teriak seperti pujangga mabuk membacakan puisi di panggung. Orang itu tetap sabar menanti jawabanku. Saya kasih tiga nomor buntut judi togel Singapura untuk mengalihkan rasa ingin tahunya. Ia abai, tak dipasangi. Tak dinyana, tiga nomor itu tepat tembus. Saya jadi orang paling dicari di kota. Sebelum saya diburu lebih parah para penjudi togel, segeralah pindah kota. Menyusuri jalan-jalan kecil, menumpang truk terbuka, berlari-lari seperti anak kecil, tidurlah saya di pasar beralaskan kardus bekas bungkus panci. Dan tetap saja ada orang yang memburuku. Semakin banyak, dan mereka ada di sekitarku tapi tak tahu persis dan hanya meraba. Aneh, darimana mereka tahu? Untuk apa? Mungkin untuk minta angka judi togel, mungkin untuk cari tahu siapa sebenarnya aku ( yang saya sendiri tidak tahu ), mungkin untuk cari informasi agenda rahasia yang saya tahu untuk menjualnya, mungkin untuk membunuhku. Membunuhku? Mereka kira saya peduli dengan hidup atau matiku! Ada yang bertampang wartawan, ada yang bertampang kyai, ada yang bertampang intel, ada yang bertampang polisi, ada yang bertampang gila, ada yang bertampang gembel, lebih gembel dariku. Yang terakhir lebih membuat saya perhatikan. Ia bisa saja ingin lebih gampang mendekatiku untuk membunuhku. Membunuhku? Sebegitu pentingkah saya sehingga ada orang yang ingin saya tidak hidup? Mengganggukah saya?
Saya tulis semua yang dialami pada kertas-kertas saya, tersimpan rapi, seperti buku agenda pada kertas-kertas terpisah yang belum sempat dijilid dan kubawa selalu. Juga kertas-kertas kiriman teman-temanku ( teman sepertiku ) dari seantero pelosok negeri. Banyak sekali yang mereka tak tahu. Mereka?  Mereka siapa? Jika saya kasihkan kertas-kertas saya pun, apa mereka bisa membaca? Kertas-kertas saya berserakan; di langit, di tanah lapang, di gedung, di sungai, di jalan, di laut. Jika saya bacakan di hari ulang tahun kemerdekaan dan disiarkan langsung oleh seluruh televisi, apa jadinya negeri ini. Saya tak kasihkan pada siapapun dengan banyak pertimbangan.
Dan membiarkan mereka memburu saya. Mereka yang ada di sekitarku, berlari-lari menuruti perintah tuannya. Berlari-lari. Saya ada di sekitarnya.
November 2016

1 komentar: