Label

Selasa, 13 Oktober 2020

SERIBU LAKI-LAKI SATU PEREMPUAN

                Pulau kecil yang terapung itu jika malam tampak gelap tanpa sinar listrik. Tak ada suara musik, radio ataupun tivi. Sunyi. Semua suara adalah suara alamiah. Tak ada lalu lalang mobil atau motor, tak ada rumah gedung menjulang. Sepi, tak ada kesibukan dunia modern yang berlari berpacu dengan waktu, saling mendahului dan oportunis. Manusia yang tinggal di situ pun, tak bertempat di rumah-rumah yang layak. Sekedar tempat berlindung dari dinginnya angin malam dan berteduh saat hujan datang. Ada yang tinggal di bawah tebing dengan cekungan kecil semacam goa, ada yang tinggal di bawah sisa reruntuhan bangunan, ada yang bikin gubug sederhana tanpa bilik.  

Dataran tinggi di bibir pantai itu terpisah dari induk pulau setelah gempa dahsyat 7,8 skala Richter di kedalaman sepuluh kilometer di dasar  laut, tujuh ratus meter dari bibir pantai diikuti Tsunami dahsyat yang menggulung seluruh hasil peradaban manusia sejauh jangkauan air laut pada sebuah tempat yang sangat strategis untuk menikmati seluruh keindahan laut sepanjang waktu. Di situ fasilitas untuk menikmati keindahan dan kesenangan tersedia dengan berbagai macam bentuk, warna-warni simbol imajinasi manusia yang tak terbatas waktu. Sekarang menjadi sebuah pulau kecil terapung di tengah samudra tanpa bisa melihat bibir pantai pulau lain. Sejauh mata memandang, hanya hamparan air laut yang terus menerus menggulung ombak sepanjang waktu. Tak ada fasilitas komunikasi. Tak ada fasilitas kebutuhan manusia modern yang bisa dipakai. Semua telah rusak dan tak bermanfaat. Pulau kecil itu menjadi tempat manusia yang selamat dari gulungan ombak Tsunami. Ada tigaribuan orang di sana. Dari anak-anak sampai manula.

Setiap hari ada saja orang yang mati. Tak ada obat-obatan, praktis hanya menggunakan dedaunan dan buah-buahan yang dianggap bisa mengobati orang sakit. Pemandangan yang lumrah melihat orang sekarat tanpa perawatan atau pertolongan medis. Ketika pohon-pohon mulai tumbuh bersemi, orang-orang penghuni pulau itu semakin menyusut jumlahnya, satu persatu mati. Tak ada upacara penguburan dalam suasana duka haru biru. Hanya sekedar dikubur tak begitu dalam hasil dari menggali lubang dengan ranting-ranting pohon yang dipatahkan. Hewan-hewan sudah jarang sekali bisa ditemui. Mereka diburu dan dimakan. Hanya beberapa hewan saja yang sementara bisa menyelamatkan diri dan masih bisa bersembunyi sambil menunggu kapan saatnya tertangkap manusia yang memangsa semua yang ditemui saat lapar. Burung-burung kadang hinggap sementara di pohon untuk kemudian terbang lagi entah ke langit yang mana.

Tak ada pemimpin diantara mereka yang diakui. Tak ada ide dan pendapat yang dapat mempengaruhi pikiran orang lain. Semua saling mencari selamat, saling mencari celah untuk bertahan hidup. Kekuatan fisik menjadi senjata utama untuk mempengaruhi orang lain.  Tak ada batasan antara kecurangan dan ketidakcurangan. Bertahan untuk selalu survive dilakukan dengan berbagai cara, melupakan pertemanan atau persaudaraan yang pernah terjalin. Ini pulau barbar. Banyak lelaki yang tampak gagah perkasa yang mati lebih duluan karena lengah dan disingkirkan  pesaingnya dan hanya wanita-wanita yang kuat dan pandai baca situasi yang masih bisa bertahan. Saat para lelaki atau wanita-wanita naik libidonya dan memuncak keinginan menumpahkan kebutuhan biologisnya, akan menjadi hal yang unik bagi siapapun yang berkesempatan dan dengan keadaan tak ada orang lain yang menggangu. Kesempatan itu sangat sulit karena semua saling mengintai dan saling ingin mengagalkan. Perselisihan kecil sering menjadi baku hantam yang berujung pembunuhan. Sering bangkai orang yang tewas ditinggalkan begitu saja atau kadang dibuang ke sungai atau ke laut. Hanya bau busuk yang membuat berpikir untuk menyingkirkan atau mengubur bangkai, karena kemanusiaan telah tererosi begitu cepat.

Ketika hidung sudah terbiasa dengan bau busuk bangkai dan mata telah terbiasa dengan bangkai-bangkai, pembiaran mulai terjadi. Ketika umbi-umbian dan daun-daun sudah tak ada lagi tersisa dan binatang tak ada lagi yang bisa diburu, pola makan menjadi berubah. Ketidakbiasaan mulai terjadi. Tak ada pembiaran pada apapun yang bisa dimakan. Orang yang sedang sekarat menjelang maut, ditunggu kematiannya. Dagingnya akan diolah untuk dimakan. Entah siapa yang memulai. Juga memang sudah tak terpikir masing-masing punya nama atau tidak, tegur sapa sekedar hai, hoi, oi, tak jelas apa maksudnya. Tatanan hidup orang modern telah hilang dan rusak sama sekali. Mereka begitu cepat jadi primitif. Satu dua orang yang mencoba bertahan berpikiran seperti sebelum mereka terapung di sebuah pulau kecil yang terisolasi. Rasa kebersamaan sebagai manusia berubah seratus delapan puluh derajat dan lebih menakutkan dibanding dengan binatang. Mereka membuat api dari kayu atau bambu kering yang digosok-gosokan satu sama lain untuk penghangat badan saat malam terasa dingin dan untuk sekedar membakar daging atau umbi-umbian yang ditemukan.   

Tertolong oleh beberapa orang yang meyakinkan kalau makan daging manusia adalah perbuatan yang akan menyiksa diri kita sendiri, perburuan sesama manusia untuk dimakan dagingnya segera cepat berakhir. Bahkan kemudian mereka mengkeramatkan bangkai manusia pada satu tempat yang tinggi dan diyakini akan selalu menjaga orang-orang yang masih hidup, melindungi dari kekuatan ghaib jahat yang kapan saja bisa menyerang. Ada upacara sederhana untuk mengantarkan jenazah ke puncak bukit. Mereka bernyanyi dengan nada yang sedih dan mengharukan, diselingi ucapan penghormatan dan permohonan agar si jenazah menjadi pelindung dan penjaga yang setia. Kadang suaranya meninggi, kemudian datar merendah meratapi kepergian, silih berganti. Burung-burung menjadi datang berkumpul, bernyanyi mengiringi. Setelah selesai semuanya, burung-burung itu terbang lagi entah ke langit yang mana.

Perempuan-perempuan berkumpul pada sebuah tempat yang terpisah dari kaum lelaki. Mereka merasa nyaman berkumpul karena akan jadi rebutan jika berpasangan dengan seorang lelaki. Dan itu pasti jadi perkelahian. Tak jarang perempuannya yang jadi korban. Nafsu biologis mereka masih normal, tapi, sepertinya tak ada seorangpun yang rela melihat sepasang laki-laki dan perempuan dapat leluasa menikmatinya. Nafsu sex ini yang sering menjadikan awal dari perkelahian dan tak jarang berakhir dengan pembunuhan.

Perempuan-perempuan itu sepakat untuk tidak melayani nafsu biologis para lelaki, apapun resikonya. Mereka membentengi diri dengan selalu berkumpul dan saling menjaga dari sergapan lelaki yang setiap saat siap menyeret dan menyergap salah satu dari mereka. Mereka terus bertahan. Suatu keputusan yang sebenarnya menyiksa juga bagi mereka. Berbulan-bulan mereka terus begitu dan membuat kaum lelaki semakin buas dan semakin tertantang. Tapi kemudian nyatanya tak semua perempuan mampu menahan keinginan biologisnya. Satu dua melanggar kesepakatan itu, sembunyi-sembunyi mencari celah dan waktu untuk bertemu dengan lelaki yang juga begitu. Tak hanya satu dua, pelanggaran kesepakatan para perempuan pun semakin tak terjaga. Para penjaga kesepakatan yang setia, satu persatu berguguran. Pengkhianatan menjadi hal lumrah setelah beberapa bulan dijaga mati-matian. Mereka, para perempuan dan para lelaki, berlari dan bersembunyi, menikmati kesempatan yang sempit. Berkelakar melepas hajat, bersantai sejenak untuk bersiap berburu lagi. Berburu makan, yang lelaki berburu perempuan, yang perempuan menikmati sebagai obyek perburuan. . Bersembunyi-sembunyi menikmati sebuah kesempatan bisa bersembunyi. Terus dan terus sampai kemudian sembunyi-sembunyi itu menjadi hal biasa dan tak lagi terasa menyenangkan. Berburu makan, berburu perempuan, bersembunyi-sembunyi, bernyanyi-nyanyi dalam kesembunyian.

Tak ada yang mau diatur, hanya jika ada keperluan yang berbarengan saja mereka mau sepakat. Para perempuan sadar mereka jadi obyek perburuan bagi kaum lelaki yang semakin lama semakin meremehkan dan melecehkan. Mereka segera sadar, atur strategi dan berkumpul. Dan, semua usul, semua berpendapat, semua bersuara keras, semua bersuara lantang. Riuh rendah, tak ada yang mau kalah, semua harus menang dan semua memaksa harus idenya sendiri yang dipakai. Keributan segera terjadi sampai reda sendiri karena kelelahan. Pada sebuah gua yang mulutnya diberi atap dari rumput ilalang yang dianyam, mereka melepas kelelahan bersandar pada dinding gua. Bercerita sekenanya tanpa disadari kapan memulai dan bicara tentang apa. Terdengar ketawa-ketiwi genit, ada yang cekakan, ada yang berteriak-teriak. Bernyanyi tanpa syair yang jelas.

Seorang perempuan lincah bertubuh ramping, kuat, cekatan, berrambut tebal lurus sebahu, bermata jalang dan tajam berdiri pada sebuah batu tertinggi dan berteriak dengan keras.

“Dengar... Dengarkan saya.” Suara membehana mengisi seluruh ruang, “Hey... Kau mau dengar aku tidak....!!! Jika tidak, kau harus tau akibatnya.

Ia pun segera melompat dan menghampiri empat orang yang terus ngobrol tanpa memperhatikan ucapnnya sedikitpun. Ia segera menggapai rambut salah satu dari mereka dan memaksanya berdiri. Merasa jadi korban, ia melawan tapi keburu dipaksa untuk takluk oleh perempuan perkasa itu. “Jika kau mau melawan aku, kau rasakan ini!” sambil dengan sangat cepat tangannya memelintir kepala si korban dan dihempaskan ke tanah berkerikil tajam. Perempuan itu terjengkang dan meringis menahan sakit. Tiga temannya merasa tak rela, langsung menyerangnya dan segera saja perempuan perkasa itu berkelebat menendang dan meninju. Tiga orang itu terkapar, terjerembab mencium tanah.

“Mau kalian-kalian sepertia dia?” tanganya menunjuk lurus pada empat orang korban pertamanya.

Semua terdiam. Di hati mereka bergumam, ‘harus tak ada yang berkuasa di antara kita, ia harus segera disingkirkan jika mau jadi pemimpin kita’.

“Saya tak akan jadi ratu diantara kalian,” Ia berteriak keras, “Tapi, kalian ingat. Kita telah menjadi obyek perburuan para lelaki tengik itu. Kita harus pintar dan jeli agar mereka tak sembarangan menguasai kita.” Mereka tersadar. Terdiam.

“Jadi, kita harus bagaimana?” seorang perempuan lembut berambut hitam sedikit ikal menimpali dengan penuh kekhawatiran.

“Santai aja. Tinggal kita turuti kemauan para lelaki itu pasti mereka tak akan menyakiti kita. Betul nggak? Toh, kita juga butuh.. Ya, nggak kawan-kawan.”

“Tidak!!” Teriak perempuan yang masih berdiri di atas batu. Kita harus kuasai mereka sebelum mereka merasa bisa menguasai kita.  Kita harus kuat dan sejajar dengan kaum lelaki. Kita harus memulai dari sekarang.” Maka demi sebuah kesepakatan dan janji tak ada pengkhianatan, mereka kompak.

Dan benarlah, setelah bersepakat dengan bersusah payah, mereka mengatur strategi. Hanya ada seorang perempuan yang keluar dari persembunyian dalam satu hari. Yang lain berkumpul dalam satu gua untuk bertahan dan siap menyerang jika ada lelaki datang.

Seorang perempuan cantik di tengah belantara alam dengan berdandan seadanya, tentu menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi lelaki yang haus perempuan.  Dan perempuan itu melenggang ke sungai, ke hutan, ke semak-semak sendirian tanpa rasa canggung dan takut. Dalam sekejap, para lelaki bersembunyi-sembunyi mengintip untuk mencari sempat mendekapnya.

Ketika seorang dengan cekatan menangkap si perempuan, ia tak berontak dan tak juga tak membiarkan dirinya di dekap. Di bawanya si perempuan ke balik semak yang berumput tebal. Ia tak berontak dengan kasar, sedikit menolak tapi menurut mengikuti langkah lelaki yang penuh birahi dengan sedikit diseret kedua kakinya. Rambutnya terurai oleh angin yang melewat di setiap sela-sela pepohonan dan semak. Rumput, semak dan ranting yang terlewati bergerak-gerak menyapa menyampaikan salam.

Seribu pasang mata lelaki yang lain mengintai, matanya memerah menahan hasrat, menelan ludah sampai jakunnya bergerak-gerak turun naik. Kepalanya menjadi segera pusing menampung seluruh imajinasi yang datang begitu banyak, begitu cepat. Gerigi mereka gemeretak beradu dan nafasnya mendengus-dengus. Keluarlah suara-suara lenguhan dari seribu lelaki yang menahan konak. Lenguhan itu mengeras menyeruak di atas pepohonan dan semak-semak, seperti segerombolan binatang buas yang lari diburu manusia bersenapan.

Ketika seseorang melompat dari persembunyian dan berlari menyerobot menggapai lengan perempuan yang sedang dirayu, lelaki yang lain serentak mengikuti takut ketinggalan kesempatan. Mereka bertubrukan. Saling sikut, saling tendang, saling menyingkirkan. Seperti ikan dalam kolam dikasih pakan setelah berhari-hari kelaparan. Berteriak-teriak penuh nafsu dan amarah. Yang terkulai dan terkapar, terinjak-injak. Semak belukar dan rerumputan sebentar telah rata menjadi lapangan. Perkelahian terus berlanjut. Tak jelas siapa lawan siapa, yang dalam jangkaun serangan, mereka saling pukul dan tendang.

Perempuan cantik itu menjadi terbiarkan dan pulang ke gua dengan tenang sesekali menongok ke belakang melihat para lelaki yang masih terus bertarung meluapkan amarah. Darah nampak mulai tercecer di rerumputan. Pertarungan terus berlanjut, merembet ke lelaki-lelaki lain menjadi ikut bertarung membantu orang-orang yang dianggap temannya. Tapi, tidak jelas apakah membantu teman atau memanfaatkan kesempatan untuk membunuh lawan. Yang terjadi, bukan pertarungan antar dua kubu, tapi pertarungan pada siapa saja yang dalam jangkaun serangan. Sekumpulan lelaki yang sedang ngamuk satu sama lain, entah memperebutkan apa. Burung-burung berbulu gelap berbondong hinggap di dahan-dahan pohon di sekitar mereka, memandangi dengan mata jalang dan paruh tajam terhunus. Suara-suaranya serak menanti bangkai yang mulai bergelimpangan.

Langit berangsur menggelap. Sinar matahari hanya menyisakan sedikit semburat di balik bukit yang menurun. Lelaki-lelaki yang masih bertahan untuk bertarung masih terus menunjukkan kekutannya untuk melumpuhkan lawan.

Seorang perempuan lincah bertubuh ramping, kuat, cekatan, berrambut tebal lurus sebahu, bermata jalang dan tajam berdiri pada sebuah batu tertinggi dan berteriak dengan keras.

“Apa yang kalian perebutkan?!” teriak perempuan itu lantang menengadah langit. “Apakah kalian hanya akan meyisakan satu pemenang?”

Tak ada jawaban. Para lelaki sudah tak ada lagi yang berdiri. Semua terkapar menggelepar. Burung-burung berbulu hitam berparuh tajam mulai turun mengerubuti lelaki-lelaki yang terkulai berdarah-darah. Bau anyir darah menguap ke langit yang telah gelap. Tak ada bulan atau bintang menyambut malam. Gerimis rintik kecil turun menyamping bersama angin yang sesekali berhembus menyentak. Anak-anak burung pipit beringsut masuk sarang menghangatkan tubuh diketiak induknya.

                                                                                                        April 2013

1 komentar: