Postingan

Anjing (5)

Gambar
Seorang dengan tingkah tak biasa, mendatangiku. Seekor anjing mengikutinya. “Kau lapar?” dia diam saja. Sorot matanya tak bisa ku baca. Anjingnya membalas tanyaku, “Apa tampang kami begitu?” “Saya hanya menawarkan saja. Barangkali begitu.” Orang itu dia saja, menikmati angin dan kibasan ekor anjing. “Kau tampaknya seperti kami, maka kami dekati. Kita bisa bersama.” “Saya seperti kalian?” “Kau merasa waras?” pertanyaan dengan nada menjijikan. “Kau memaksa diri untuk tampak selalu seperti baik pada orang yang kau anggap penting.” Saya tercenung. Mungkin anjing itu benar. Tapi, dia itu anjing, dia anggap saya seperti caranya. “Perbaiki caramu menjilat saja. Nggak perlu bernasehat.” “Betul. Jangan seperti saya jika tak ingin gila. Saya sudah terbiasa dengan senang dan kecewa. Berpura-pura senang dengan kekecewaan. Berpura-pura kecewa padahal senang jika sesuai niatku.” “Hebat kamu. Kamu bahagia dengan begitu?” “Ya. Ini lakon yang kujalani. Lakon yang ku pilih, pilihan d...

MAU KEMANA

Gambar
Cerpen Betapa sibuknya dunia. Terburu-terburu, tergesa, berlari, ngebut. Waktu dianggap berjalan terlalu lambat. Saya tertegun. Ruas jalan yang lebar dan panjang seperti kurang tempat, kurang lebar, sempit. Suara knalpot saling menyapa, saling menderu melepas dendam. Sebagian besar merasa paling penting dan paling buru-buru, hanya sedikit yang menikmati perjalanan. Dengan bendera putih di ujung sebuah bilah, saya mulai menyetop satu persatu mereka yang melintas. Tak ada tanda di depan ataupun di belakang saya. Yanso, teman saya ikut membantu. Saya tanya dan saya rekam di HP yang sudah saya siapkan baterai dan ruang simpannya, setiap orang yang berkendaraan ataupun yang jalan kaki. Yanso yang berbadan gempal, tinggi 165, berambut cepak menantang langit, dengan wajah kaku menghentikan agak paksa pengendara yang berusaha lolos. “Anda mau kemana?” “Saya mau nganter anak sekolah Pak.” Suaranya datar. Anak lelakinya yang berseragam SD mendorong pundak ketakutan terlambat. “Bapak habi...

Anjing 4

Gambar
Saat lari pagi, ketika masih sepi suara dan orang, di depan sebuah rumah megah, seekor anjing mengejar; “Ngapain kamu ngejar-ngejar..!” “Saya harus melakukan ini, supaya beliau tahu saya masih berjaga dan siap siaga.” “Dan kamu bikin kaget.” “Maaf, saya lupa nggak nasih tahu dulu. Saya kira anda sudah tahu saya.” “Aku tahu kamu, tapi ini belum pernah dilakukan.” “Harus ada yang baru, supaya beliau tidak bosan. Saya sudah diberi makan enak setiap hari. Saya harus memberi lebih dari yang biasanya.” “Sesekali lah kau melawannya.” “Saya belum berani. Belum ada pikiran untuk lepas dari kenyamanan ini.” “Kamu nyaman di posisi begini?” Kami masih terus berlari pelan beriringan, sudah agak jauh. “Saya harus nyaman begini, karena nggak bisa jadi kucing, nggak bisa jadi macan, nggak bisa jadi banteng.” “Karena kamu nggak mau jadi yang lain.” Anjing mendadak menggonggong, berlari berbalik arah, kembali. Wnj, 17:28 12122025

anjing 3

Gambar
  Di sebuah garasi, seekor anjing hitam melongo kelelahan, pandangan matanya kosong, “Mengapa?” “Saya capai, apapun saya lakukan agar mereka senang, tapi…” “Kamu nggak ikhlas melakukannya, makanya muncul kata ‘tapi’ di hatimu” “Kalau saya ngomong, semua yang saya kerjakan ikhlas, berarti saya munafik.” “Setidaknya kamu harus bisa menikmati, jika tak bisa merasa ikhlas.” “Menikmati caraku?” “Ya. Sebelum kamu bisa menikmati hasilnya.” “Entah kapan itu, dan juga entah akan dapat atau tidak. Terasa capai, mengorbankan kesenangan, menggongong sana-sini, bersikap lucu, bersikap menggemaskan, berusaha cerdas, agar mereka senang dan tertawa.” “Itu jalanmu. Atau kau ingin jadi anjing liar pemburu di hutan, bebas tak ada yang ngatur dan nyuruh. Dan kau harus siap tidur di hutan belantara yang dingin, hujan, dan banyak binatang lain yang siap saling terkam.” Anjing hitam terdiam, agak lama. Dan ujug-ujug menggonggong agak panjang dan suaranya patah. Matanya sedikit berair, ...

Anjing 2

Gambar
  Dipinggir ruas jalan, di ujung jembatan, anjing cokelat, duduk. Menyapa saat ku dekati, “Kamu kenapa?’ Ia memandang dengan sinar mata kesal dan sedih, sedikit mengguguk, “Lagi pengin di sini, saja.” “Kamu tinggal di mana?” “Di emperan rumah itu,” moncong dan matanya mengarah pada sebuah rumah berwarna putih. “Kamu di usir?” Anjing itu menggeleng. Diam sebentar dan, “Saya hanya dibutuhkan saat malam. Tugasku menggonggong pada yang mencurigakan. Tugasku saat gelap, dingin, hujan, angin malam dan sepi.” “Kamu menyesal jadi anjing?” “Saya nggak punya pilihan.” “Nikmatilah.” “Tapi, kenapa kucing yang pemalas itu yang hidup nyaman di dalam rumah. Saya juga bisa lucu, menggemaskan seperti kucing.” “Kamu pengin jadi kucing?” “Mereka tak akan percaya jika saya jadi kucing pun.” “Jadilah anjing yang baik? “Apa ada anjing yang dianggap baik di sini.” “Kamu yang akan jadi anjing baik pertama di sini.”   Wnj.21:04 01122025

anjing itu lagi

Gambar
  Sekira satu setengah bulan lalu, bertemu anak anjing itu. Di sekitaran sebuah gubuk di pinggir hutan. Usianya belum dua bulan. Menggemaskan. Ada enam ekor dengan warna berbeda, ada dua yang warna hitam. Ekornya selalu digerakkan kanan kiri. Berlari lucu saat dipanggil. Moncongnya tersenyum-senyum sambil terus berlatih menggonggong. Bulu-bulunya halus mengkilap, tak ada kutu tak ada kudis.   Dan bertemu lagi. Masih ada enam dengan warna yang sama. Sudah agak besar. Matanya berkedap kedip, memelas. Tatapannya matanya sayu. entah apa yang diinginkan. Entah apa yang dipikirkan. Seperti berharap yang berat diungkapkan. Sesama teman, saling berdesak. Berebut didepan. Tak ada yang menggonggong, hanya menguik agak sedikit keras.   Hanya sekedar disapa, mereka sudah berjingkrak, menggemaskan. Tak diberi sesuatu apapun, karena pasti berebut, bertarung, bertaruh. “tenang, duduklah. Kulit dan warna kalian mengkilap.” Mereka berjingkrak berput...

KARBA

Gambar
Cerpen               Pagi yang masih dingin, gelap dan berat melambat. Kegelisahaan membuat menjadi tak nyaman, grungsang. “Istirahat atau tidur dulu Pak. Saya bikinkan kopi ya Pak?" “Ya. Tidak usah.” Pagi masih terlalu dingin untuk dinikmati. Bahkan suara nafaspun masih terdengar jelas dan dingin merambat dari jari-jari kaki. “Ini yang terakhir, Bu. Apapun yang terjadi, kita harus bertahan.” Istrinya diam. Sudah berapa puluh kali suaminya bilang, ‘ini yang terakhir’. Dan, Ia bersyukur jika memang benar. Dan, sanggupkah bertahan untuk lapar yang lama? “Kota terlalu keras untuk kita, bu. Keyakinan kita salah. Semua yang di kampung habis, tak tersisa. Sekarang harga diri kita juga sudah habis tak tersisa. Meski tak ada yang tahu, tapi aku malu. Malu sekali.” Istrinya diam, melepas nafas lewat hidung, melepas sesak pikiran dan bergegas ke kamar mandi. Dua anaknya sudah mulai bangun untuk siap-siap berangkat sekolah. Semua sudah disiapkan ...