Label

Jumat, 27 Juni 2025

TIANG BETON NOMOR SEMBILAN

soleh djayim

Wanita itu belum juga memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.  Ia tak tahu telah berapa lama berdiri menunggu dan tak ingin tahu  waktu menunjukan jam berapa. Ia tak akan bisa tidur malam jika belum juga mendapatkan keinginannya.

Lewat lubang ventilasi, Ia itu berusaha melihat langit yang tertutup lantai beton di atas kepalanya. Udara lembab, langit mendung seperti ragu menumpahkan air hujan tetapi rintik gerimis sesekali menetes. Matahari terhalang sinarnya.  Mungkin sudah tengah hari, mungkin sudah sore, mungkin sudah senja. Ia tak mau tahu waktu, ia sengaja tak membawa arloji. Ia lupa lapar dan lupa tak mengisi perut yang meronta karena kosong.  Siapapun tak akan ada yang sudi dengan keadaan itu jika bukan karena sesuatu yang diyakininya bisa menentramkan dan menenangkan hati.

Wajahnya yang mulai mengeriput halus masih membekaskan kecantikan di waktu mudanya. Dengan pakaian yang didominasi warna krem, tas hitam sedang, sandal kulit warna coklat melengkapi keindahan betis yang tampak dari celah belahan rok panjang, tinggi semampai. Ia tampak lelah, tapi matanya memancarkan sebuah harapan besar dan keyakinan.

Diantara lautan mobil yang diparkir, sorot matanya tetap pada satu arah. Telah tiga kali dalam seminggu ini melakukan hal seperti itu. Menunggu dan mengawasi satu tempat yang ia yakin akan lewat seseorang; anaknya.

Karena pemberitaan di beberapa media-lah yang membawanya datang ke tempat ini. Seorang pengusaha muda sukses, cerdas, pintar, gagah dan mengesankan. Begitulah yang selalu muncul di benak wanita itu jika melihatnya di televisi dalam sebuah acara dialog ataupun wawancara. Di Koran-koran, majalah-majalah, tabloid-tabloid, ia sering muncul dengan berbagai pendapat dan pandangan segar dan mengejutkan.

Aku yakin betul pemuda gagah itu anakku, bisik wanita itu setiap kali ia melihat wajahnya di koran, di televisi, majalah atau tabloid. Dia seperti bapaknya dalam gaya bicara, mimiknya, cara memandangnya. Apakah ayahnya tahu? Atau ayahnya tak pernah memperhatikannya. Atau dia anak yang ke berapa dari sekian puluh anaknya yang lahir dari rahim wanita-wanita yang ditaklukannya? Betul! Dia anaku. Meski dia sudah sangat berbeda dengan ketika berumur dua setengah tahun. Sebagai orang yang melahirkan, aku tak ragu sedikit pun, dia anakku. Anakku. Anakku yang semoga seperti yang aku harapkan, tumbuh menjadi seperti yang selalu aku doakan. Anakku, mampukah aku menahan gejolak rindu untuk memelukmu, untuk membelaimu, untuk mendampingimu, memasak makanan kesukaanmu, menyiapkan baju kerjamu, membimbingmu, menimang anakmu; cucuku.

Di sini, dulu, kira-kira sepuluh meter dari tiang beton nomor sembilan dari ujung pintu masuk tempat parkir mobil, aku membiarkan anakku, anak satu-satunya yang lahir dari rahimku, kubiarkan menangis ketakutan. Mulutnya yang mungil terbuka lebar mengeluarkan air liur dan membasahi dagunya yang lancip. Anakku menangis ketakutan dan aku membiarkannya. Aku gemetar. Gigiku gemeretuk beradu seperti mengunyah seluruh yang mengganjal di jiwa. Aku gila! Aku telah melakukan sesuatu yang sangat tak ku mengerti. Aku benci hidupku. Aku benci hidupku. Aku benci masa laluku. Aku benci perasaanku sekarang. Aku ingin membuangnya. Aku ingin memulai hidup tanpa ada kehidupanku sebelumnya. Aku tak mengerti apa itu garis hidup.

Kedua bahu wanita itu terguncang-guncang menahan tangis yang belum seluruhnya tumpah. Tangannya menutupi kedua matanya, mengusap air mata dan kemudian jemarinya mencengkeram udara sepuas hati. Ia terus berperang melawan perasaannya. Sampai Ia lelah. Sampai Ia tak bertenaga. Sampai Ia tak mendengar suara tangis anaknya yang begitu Ia kasihi. Ia telah luluh dan mati jiwa. Ia terduduk lunglai tersampir di lajur beton pembatas mobil parkir. Ia lupa dunia, gelap mata, tuli suara. Ketika sebuah mobil lewat di dekatnya , Ia  terjaga oleh tangis seorang bocah  yang sangat Ia kenal. Lewat jendela anak itu menjulurkan tangannya sambil meronta, mengeraskan suara tangisnya. Wanita itu segera berlari mengejar mobil itu dan  segera  berlari memanggil sopir taksi untuk membuntutinya.

Wanita itu mencatat baik-baik alamat rumah itu dan segera menyuruh sopir untuk terus jalan setelah mobil yang dibuntutinya berbelok ke sebuah rumah. Ia pulang ke rumah yang selama ini ditempati bersama anaknya.

Ia segera membuang seluruh benda yang berhubungan dengan Dian –nama anaknya- agar tak terasa begitu membebani dalam ruang benaknya. Mencari obat tidur. Dengan segelas air putih Ia menggelontor segenggam obat tidur ke perutnya dan menggempaskan tubuhnya yang lelah ke tempat tidur. Ranjang yang lebih sering ditempati berdua bersama Dian daripada dengan laki-laki yang telah membuatnya punya seorang anak. Laki-laki yang empat tahun terakhir telah memberinya babak kehidupan yang dibencinya.

Ia memang bisa punya rumah mungil dan perlengkapanyya dari laki-laki itu. Satu dua tahun pertama, biaya hidup tercukupi dengan jatah uang yang lumayan  besar dan bisa menyisakan untuk ditabung. Kemudian semakin bertambah tahun dan bulan jatah uang yang diterima berkurang dan frekuensinya jarang sampai tidak sama sekali.

Hanya beberapa bulan wanita itu merasakan kehangatan  dan kasih sayang dari bapaknya Dian, selanjutnya adalah kehampaan, sepi, keresahan, ketidakmenentuan, bahkan ancaman bila tidak menuruti kehendak dari laki-laki itu. Wanita itu selalu berusaha untuk lepas  dari cengkeramannya. Ia kerahkan segala macam cara dan tipu daya. Dan lelaki itu seakan memiliki segalanya, selalu tahu apa yang diperbuatnya meski ia itu tak pernah datang menjenguknya. Uang dan kekuasaan telah membikinnya menjadi raja dan mendapatkan segala keinginannya.

Wanita itu putus asa. Ia tak sanggup membiayai hidup dirinya dan Dian dengan caranya mencari uang; membikin warung kecil-kecilan yang kalah persaingan. Ia kesana kemari menemui kenalan lamanya, barangkali bisa memberikan pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan cukup. Juga dengan  kesibukannya Ia berharap bisa sedikit melupakan perasaan hati yang terkoyak. Ia mulai merangsang jiwanya untuk bisa punya harapan dan optimis setelah sekian tahun mati membatu. Ia ingin membangun lagi hidupnya dengan jalan baru dengan merintisnya sendiri.

Ia bertemu dengan kawan lamanya yang jadi wartawan. Sahabat karib. Makanya Ia tak sungkan-sungkan menceritakan segala perjalanan hidupnya dan seluruh masalah yang menghimpitnya. Ia tumpahkan segala perasaan yang membatu, mengganjal diseluruh ruang hati. Ia tumpahkan semua sampai Ia kemudain tersentak kaget ketika ternyata dirinya masih bisa menangis.

“Aku punya saran untuk kamu,” kata temannya yang wartawan. “Bapaknya Dian itu kan orang terkenal. Public figure. Kamu temui dia. Katakan bahwa kamu ingin dipenuhi semua kebutuhan hidup, minimal seperti dulu  ketika Ia masih sering berkunjung ke kamu. Kamu katakan, kalau  kamu tetap tidak mau  saya akan memuat skandalnya di Koran. Pasti akan kalang kabut takut reputasinya jatuh.”

“Tapi dia terlalu kuat . Dia bisa berbuat apa saja kalau diancam-ancam begitu. Dia bisa melakukan apa saja dengan kekuasaannya. Tidak! Aku tak mau menerima resiko yang lebih berat lagi.”

Ketika  uang simpanannya sudah benar-benar habis dan hutangnya semkin menumpuk, wanita itu berniat menjual rumah tempat ia tinggal. Dan ternyata tak semudah yang ia inginkan. Sertifikat kepemilikan  tanah dan bangunan  rumah yang Ia tempati atas nama ayahnya Dian. Wanita itu bingung dan hilang akal. Ia nekat mendatangi lelaki yang telah  membawanya ke ruang gelap. Ia mengikuti saran kawannya yang jadi wartawan. Dan dari situ malapetaka datang lagi menimpa hidupnya.

“Di mana anak itu, anakmu?” tanya lelaki itu dengan tidak mengalihkan pandangan matanya pada acara tivi yang ia sukai; tinju. “Anak itu, anakmu akan jadi masalah bagiku. Aku harus melenyapkannya.”

Duaaaarrrr!!! Wanita itu kaget setengah mati. Ia hampir saja roboh kalau saja tak tertahan tangan-tangan kursi. Ia tahu betul kalau lelaki di hadapannya tidak main-main dengan perkataannya. Ia tak berani melanjutkan kata-katanya.

“Jangan. Tolong jangan kau lakukan itu. Aku mohon,”  Ia merengek. Lelaki angkuh itu melirik dengan senyum penuh misteri. Wanita itu merinding ngeri.

Esok paginya wanita itu segera melarikan Dian agar terhindar dari intaian orang-orang ayahnya Dian. Di setiap langkah kakinya ia selalu berpikir bagaimana melakukan sesuatu agar Dian selamat. Di tengah kekalutan, ia teringat teman kuliahnya dulu. Kabar terakhir yang ia dengar, temannya itu sama-sama kerja sekantor dengan suaminya. Sepintas wanita itu teringat masa  ketika ketika ia masih berstatus mahasiswa; aku dulu kembang kampus. Aku cerdas. Banyak teman-temanku dan dosen-dosen yang memuji kepintaranku. Entah apa, siapa, bagaimana dan kapan sehingga datang seorang muda yang gagah, berwibawa, disegani, humoris dan ramah. Ia seorang pengusaha, muda lagi! Jalan dan waktu mana yang mengantarku pada lelaki itu. Lelaki yang telah dengan ramah dan sopan menggelosorkanku pada ruang penderitaan, gelap dan menyakitkan. Lelaki yang membawa kabut hitam berbungkus bunga wangi warna-warni.

Wanita itu mencoba datang ke tempat parkir mobil di sebuah gedung perkantoran. Ia dulu sering mengantar temannya menemui pacarnya  yang sekarang suaminya. Dan merekalah yang menyelamatkan Dian dari lelaki gila itu. Dan mereka tak pernah tahu kalau anak itu lahir dari rahim teman kuliahnya. Yang mereka tahu adalah menemukan seorang bocah mungil dengan tahi lalat kecil di ujung bibir sebelah kanan. Tahi lalat itu juga yang bikin ibu Dian yakin kalau orang muda gagah yang sering muncul di media massa itu anaknya.

Hati wanita itu bergemuruh keras. Orang yang ditunggu-tunggu datang. Ia menggandeng seorang wanita cantik. Gaya berjalan dan gandengan tangannya persis seperti bapaknya. Bisik wanita itu, oh anakku. Kau gagah mengesankan. Di sisi sebuah mobil mewah mereka berhenti. Pemuda gagah itu masuk ke dalam mobil dan sebentar kemudian pintu mobil sebelah kiri terbuka. Wanita itu masuk dengan kemanjaan yang wajar. Segera mobil mewah itu melaju. Wanita itu mendekati tukang parkir. “Bapak kenal orang yang baru saja pergi dengan mobil mewah itu?”

“Ya, saya kenal. Memang ada apa Bu?”

“Wanita itu istrinya?”

“Saya tidak tahu persis. Tapi ia sering sekali ganti-ganti pasangan. Paling lama satu bulan, sudah ganti.”

“Sering?”

“Ya Bu.”

Langit mendung hitam. Jalan pulang terhalang, Ia berjalan tanpa arah.****

                                                                                                            Februari 2004