soleh djayim
Lewat lubang ventilasi, Ia itu berusaha melihat langit
yang tertutup lantai beton di atas kepalanya. Udara lembab, langit mendung
seperti ragu menumpahkan air hujan tetapi rintik gerimis sesekali menetes.
Matahari terhalang sinarnya. Mungkin
sudah tengah hari, mungkin sudah sore, mungkin sudah senja. Ia tak mau tahu
waktu, ia sengaja tak membawa arloji. Ia lupa lapar dan lupa tak mengisi perut
yang meronta karena kosong. Siapapun tak
akan ada yang sudi dengan keadaan itu jika bukan karena sesuatu yang
diyakininya bisa menentramkan dan menenangkan hati.
Wajahnya yang mulai mengeriput halus masih membekaskan
kecantikan di waktu mudanya. Dengan pakaian yang didominasi warna krem, tas
hitam sedang, sandal kulit warna coklat melengkapi keindahan betis yang tampak
dari celah belahan rok panjang, tinggi semampai. Ia tampak lelah, tapi matanya
memancarkan sebuah harapan besar dan keyakinan.
Diantara lautan mobil yang diparkir, sorot matanya tetap
pada satu arah. Telah tiga kali dalam seminggu ini melakukan hal seperti itu.
Menunggu dan mengawasi satu tempat yang ia yakin akan lewat seseorang; anaknya.
Karena pemberitaan di beberapa media-lah yang membawanya
datang ke tempat ini. Seorang pengusaha muda sukses, cerdas, pintar, gagah dan
mengesankan. Begitulah yang selalu muncul di benak wanita itu jika melihatnya
di televisi dalam sebuah acara dialog ataupun wawancara. Di Koran-koran,
majalah-majalah, tabloid-tabloid, ia sering muncul dengan berbagai pendapat dan
pandangan segar dan mengejutkan.
Aku yakin betul pemuda gagah itu anakku, bisik wanita
itu setiap kali ia melihat wajahnya di koran, di televisi, majalah atau
tabloid. Dia seperti bapaknya dalam gaya bicara, mimiknya, cara memandangnya.
Apakah ayahnya tahu? Atau ayahnya tak pernah memperhatikannya. Atau dia anak
yang ke berapa dari sekian puluh anaknya yang lahir dari rahim wanita-wanita
yang ditaklukannya? Betul! Dia anaku. Meski dia sudah sangat berbeda dengan
ketika berumur dua setengah tahun. Sebagai orang yang melahirkan, aku tak ragu
sedikit pun, dia anakku. Anakku. Anakku yang semoga seperti yang aku harapkan,
tumbuh menjadi seperti yang selalu aku doakan. Anakku, mampukah aku menahan
gejolak rindu untuk memelukmu, untuk membelaimu, untuk mendampingimu, memasak
makanan kesukaanmu, menyiapkan baju kerjamu, membimbingmu, menimang anakmu;
cucuku.
Di sini, dulu, kira-kira sepuluh meter dari tiang beton
nomor sembilan dari ujung pintu masuk tempat parkir mobil, aku membiarkan
anakku, anak satu-satunya yang lahir dari rahimku, kubiarkan menangis
ketakutan. Mulutnya yang mungil terbuka lebar mengeluarkan air liur dan
membasahi dagunya yang lancip. Anakku menangis ketakutan dan aku membiarkannya.
Aku gemetar. Gigiku gemeretuk beradu seperti mengunyah seluruh yang mengganjal
di jiwa. Aku gila! Aku telah melakukan sesuatu yang sangat tak ku mengerti. Aku
benci hidupku. Aku benci hidupku. Aku benci masa laluku. Aku benci perasaanku
sekarang. Aku ingin membuangnya. Aku ingin memulai hidup tanpa ada kehidupanku
sebelumnya. Aku tak mengerti apa itu garis hidup.
Kedua bahu wanita itu terguncang-guncang menahan tangis
yang belum seluruhnya tumpah. Tangannya menutupi kedua matanya, mengusap air
mata dan kemudian jemarinya mencengkeram udara sepuas hati. Ia terus berperang
melawan perasaannya. Sampai Ia lelah. Sampai Ia tak bertenaga. Sampai Ia tak
mendengar suara tangis anaknya yang begitu Ia kasihi. Ia telah luluh dan mati
jiwa. Ia terduduk lunglai tersampir di lajur beton pembatas mobil parkir. Ia
lupa dunia, gelap mata, tuli suara. Ketika sebuah mobil lewat di dekatnya ,
Ia terjaga oleh tangis seorang
bocah yang sangat Ia kenal. Lewat
jendela anak itu menjulurkan tangannya sambil meronta, mengeraskan suara
tangisnya. Wanita itu segera berlari mengejar mobil itu dan segera
berlari memanggil sopir taksi untuk membuntutinya.
Wanita itu mencatat baik-baik alamat rumah itu dan
segera menyuruh sopir untuk terus jalan setelah mobil yang dibuntutinya
berbelok ke sebuah rumah. Ia pulang ke rumah yang selama ini ditempati bersama
anaknya.
Ia segera membuang seluruh benda yang berhubungan dengan
Dian –nama anaknya- agar tak terasa begitu membebani dalam ruang benaknya.
Mencari obat tidur. Dengan segelas air putih Ia menggelontor segenggam obat
tidur ke perutnya dan menggempaskan tubuhnya yang lelah ke tempat tidur.
Ranjang yang lebih sering ditempati berdua bersama Dian daripada dengan
laki-laki yang telah membuatnya punya seorang anak. Laki-laki yang empat tahun
terakhir telah memberinya babak kehidupan yang dibencinya.
Ia memang bisa punya rumah mungil dan perlengkapanyya
dari laki-laki itu. Satu dua tahun pertama, biaya hidup tercukupi dengan jatah
uang yang lumayan besar dan bisa
menyisakan untuk ditabung. Kemudian semakin bertambah tahun dan bulan jatah
uang yang diterima berkurang dan frekuensinya jarang sampai tidak sama sekali.
Hanya beberapa bulan wanita itu merasakan
kehangatan dan kasih sayang dari
bapaknya Dian, selanjutnya adalah kehampaan, sepi, keresahan, ketidakmenentuan,
bahkan ancaman bila tidak menuruti kehendak dari laki-laki itu. Wanita itu
selalu berusaha untuk lepas dari
cengkeramannya. Ia kerahkan segala macam cara dan tipu daya. Dan lelaki itu
seakan memiliki segalanya, selalu tahu apa yang diperbuatnya meski ia itu tak
pernah datang menjenguknya. Uang dan kekuasaan telah membikinnya menjadi raja
dan mendapatkan segala keinginannya.
Wanita itu putus asa. Ia tak sanggup membiayai hidup
dirinya dan Dian dengan caranya mencari uang; membikin warung kecil-kecilan
yang kalah persaingan. Ia kesana kemari menemui kenalan lamanya, barangkali
bisa memberikan pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan cukup. Juga
dengan kesibukannya Ia berharap bisa
sedikit melupakan perasaan hati yang terkoyak. Ia mulai merangsang jiwanya
untuk bisa punya harapan dan optimis setelah sekian tahun mati membatu. Ia
ingin membangun lagi hidupnya dengan jalan baru dengan merintisnya sendiri.
Ia bertemu dengan kawan lamanya yang jadi wartawan.
Sahabat karib. Makanya Ia tak sungkan-sungkan menceritakan segala perjalanan
hidupnya dan seluruh masalah yang menghimpitnya. Ia tumpahkan segala perasaan
yang membatu, mengganjal diseluruh ruang hati. Ia tumpahkan semua sampai Ia
kemudain tersentak kaget ketika ternyata dirinya masih bisa menangis.
“Aku punya saran untuk kamu,” kata temannya yang
wartawan. “Bapaknya Dian itu kan orang terkenal. Public figure. Kamu temui dia.
Katakan bahwa kamu ingin dipenuhi semua kebutuhan hidup, minimal seperti
dulu ketika Ia masih sering berkunjung
ke kamu. Kamu katakan, kalau kamu tetap
tidak mau saya akan memuat skandalnya di
Koran. Pasti akan kalang kabut takut reputasinya jatuh.”
“Tapi dia terlalu kuat . Dia bisa berbuat apa saja kalau
diancam-ancam begitu. Dia bisa melakukan apa saja dengan kekuasaannya. Tidak!
Aku tak mau menerima resiko yang lebih berat lagi.”
Ketika uang
simpanannya sudah benar-benar habis dan hutangnya semkin menumpuk, wanita itu
berniat menjual rumah tempat ia tinggal. Dan ternyata tak semudah yang ia
inginkan. Sertifikat kepemilikan tanah
dan bangunan rumah yang Ia tempati atas
nama ayahnya Dian. Wanita itu bingung dan hilang akal. Ia nekat mendatangi
lelaki yang telah membawanya ke ruang
gelap. Ia mengikuti saran kawannya yang jadi wartawan. Dan dari situ malapetaka
datang lagi menimpa hidupnya.
“Di mana anak itu, anakmu?” tanya lelaki itu dengan
tidak mengalihkan pandangan matanya pada acara tivi yang ia sukai; tinju. “Anak
itu, anakmu akan jadi masalah bagiku. Aku harus melenyapkannya.”
Duaaaarrrr!!! Wanita itu kaget setengah mati. Ia hampir
saja roboh kalau saja tak tertahan tangan-tangan kursi. Ia tahu betul kalau
lelaki di hadapannya tidak main-main dengan perkataannya. Ia tak berani
melanjutkan kata-katanya.
“Jangan. Tolong jangan kau lakukan itu. Aku mohon,” Ia merengek. Lelaki angkuh itu melirik dengan
senyum penuh misteri. Wanita itu merinding ngeri.
Esok paginya wanita itu segera
melarikan Dian agar terhindar dari intaian orang-orang ayahnya Dian. Di setiap
langkah kakinya ia selalu berpikir bagaimana melakukan sesuatu agar Dian
selamat. Di tengah kekalutan, ia teringat teman kuliahnya dulu. Kabar terakhir
yang ia dengar, temannya itu sama-sama kerja sekantor dengan suaminya. Sepintas
wanita itu teringat masa ketika ketika
ia masih berstatus mahasiswa; aku dulu kembang kampus. Aku cerdas. Banyak
teman-temanku dan dosen-dosen yang memuji kepintaranku. Entah apa, siapa,
bagaimana dan kapan sehingga datang seorang muda yang gagah, berwibawa,
disegani, humoris dan ramah. Ia seorang pengusaha, muda lagi! Jalan dan waktu
mana yang mengantarku pada lelaki itu. Lelaki yang telah dengan ramah dan sopan
menggelosorkanku pada ruang penderitaan, gelap dan menyakitkan. Lelaki yang
membawa kabut hitam berbungkus bunga wangi warna-warni.
Wanita itu mencoba datang ke tempat parkir mobil di
sebuah gedung perkantoran. Ia dulu sering mengantar temannya menemui
pacarnya yang sekarang suaminya. Dan
merekalah yang menyelamatkan Dian dari lelaki gila itu. Dan mereka tak pernah
tahu kalau anak itu lahir dari rahim teman kuliahnya. Yang mereka tahu adalah
menemukan seorang bocah mungil dengan tahi lalat kecil di ujung bibir sebelah
kanan. Tahi lalat itu juga yang bikin ibu Dian yakin kalau orang muda gagah yang
sering muncul di media massa itu anaknya.
Hati wanita itu bergemuruh keras. Orang yang
ditunggu-tunggu datang. Ia menggandeng seorang wanita cantik. Gaya berjalan dan
gandengan tangannya persis seperti bapaknya. Bisik wanita itu, oh anakku. Kau
gagah mengesankan. Di sisi sebuah mobil mewah mereka berhenti. Pemuda gagah itu
masuk ke dalam mobil dan sebentar kemudian pintu mobil sebelah kiri terbuka.
Wanita itu masuk dengan kemanjaan yang wajar. Segera mobil mewah itu melaju.
Wanita itu mendekati tukang parkir. “Bapak kenal orang yang baru saja pergi
dengan mobil mewah itu?”
“Ya, saya kenal. Memang ada apa Bu?”
“Wanita itu istrinya?”
“Saya tidak tahu persis. Tapi ia sering sekali
ganti-ganti pasangan. Paling lama satu bulan, sudah ganti.”
“Sering?”
“Ya Bu.”
Langit mendung hitam. Jalan pulang
terhalang, Ia berjalan tanpa arah.****
Februari 2004