Selalu ada drama politik dalam kompetisi perebutan kekuasaan. Siapa yang menyebutnya drama dalam kejadian politik, mereka pasti terlibat secara emosi pada apa yang disebutnya drama. Disebut drama karena tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Seolah kejadian yang diharapkan adalah yang terbaik bagi negara dan semua rakyatnya. Seolah, jika para penguasa bertindak seperti pendapatnya, negara akan lebih baik dari sekarang.
Siapa yang menyebut drama politik? Mereka yang kaget atas perilaku politikus yang di luar prediksinya. Mereka berpikir, para politikus semua harus berperilaku dalam koridor yang sesuai dengan pemikirannya. Mengapa harus kaget dengan perilaku politikus? Bagi mereka yang mendukung para ‘pembuat’ tidak akan kaget dan menyebut tindakan itu sebagai manuver cantik politik.
Perubahan arah keputusan dalam politik sebuah hal yang sangat lumrah. Memilih kawan dan lawan bisa berubah-rubah sesuai dengan prediksi dan tafsir masing-masing politikus untuk memperoleh keuntungan dan mendukung tujuannya memperoleh kekuasaan. Norma sosial dan norma kepatutan menjadi dikesampingkan. Norma hukum diakali agar lepas dari jeratan hukum meski dengan cara-cara yang memalukan. Karena, kalah lebih memalukan dan menyakitkan dari pada menghindari malu dalam bertanding.
Tak ada drama politik yang sesungguhnya jika dilihat dari kacamata “politik” yang memang tujuan utamanya adalah mendapatkan kemenangan. Kalah itu bukan pilihan. Kalah itu keadaan yang harus diterima ketika pertandingan telah berakhir. Siap kalah itu jika sudah tak bisa lagi berupaya untuk menang meski dengan berbagai cara. Sebelum kalah itulah semua dilakukan. Dan yang tak suka dengan caranya itulah yang menyebut tindakannya sebagai; drama politik. Dan si pelaku tak menyebutnya demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar