Merasa bahagia, senang, gembira atas sesuatu yang diraih, yang dipunya;
itulah bangga. Bangga bisa membuat melayang pada dunia lain dan akan terus
menerus dihidupkan kembali itu di setiap saat. Mempertahankan bangga tetap
berada pada hati dan pikiran menjadi kegiatan yang mengasyikan. Bercerita kembali
tentang apa yang dibanggakan, menulisnya, mengingatnya dengan cara menghadirkan
benda-benda atas sesuatu yang berkaitan; menjadi cara agar bangga itu tetap
dingat, tetap hidup dan menghadirkan sensasi kebanggaan.
Bercerita dengan sering tentang sesuatu yang dibanggakan, akan menjadi
benih kesombongan yang jika dilakukan terus menerus menjadi terasa menyebalkan
bagi orang yang mendengarnya. Dan muncullah kemudian komentar, pamer, yang
lebih lanjut melahirkan sebutan sombong.
Kegembiraan itu tidak mudah untuk didapat, dan jika dengan bercerita
tentang apa yang dibanggakan bisa menghadirkan bahagia, kenapa harus di hindari?
Bisa saja jawaban itu muncul dari orang yang berbangga dengan ceritanya. Dia bisa
tak peduli dengan tanggapan dan komentar orang-orang yang mendengarnya. Padahal
ada banyak cara lain untuk menghadirkan kebahagiaan. Akibat cara lain yang tak
tertemukan yang tingkat kebahagiaannya setara, menjadikan berkabar dengan
kebanggaannya itu menjadi sering berlanjut.
Tidak mudah meredam rasa bangga, apalagi membuangnya sama sekali. Seseorang
berbuat sesuatu untuk meraih prestasi, diantaranya karena ingin mendapatkan kebahagian
dari rasa bangga itu. Menghilangkan rasa bangga sama sekali, sepertinya
mustahil. Hal yang paling bijak adalah mengendalikan rasa bangga itu agar
hilang kesan pamernya. Dalam mengendalikan, membutuhkan energi psikologis
sekaligus juga akan kehilangan kebahagiaan. Menjadi kontradiktif ketika
seseorang berbuat sesuatau karena ingin berbangga yang melahirkan bahagia, kembali
harus mengeluarkan energi untuk mengendalikan rasa bangganya.
Dari bangga, akan lahir sebuah ‘aku’. “Aku yang bisa”, “aku yang lebih baik”,
“aku yang tak ada orang lain yang bisa menyamai”, dan seterusnya. Perkembangan “Aku”
pada kasus lain, menjadi: kalau nggak saya, pasti nggak akan begini, untung
ada saya, coba kalau nggak ada saya, saya yang membuat jadi begitu, itu karena
saya. Perasaan “Aku” menjadi tumbuh
berkembang dan menjadi bagian dari bangga. Bangga yang melahirkan kebahagiaan. Dan,
jika sudah melekat dihati, ‘bangga’ dan ‘aku’, sulit sekali dilepas dari hati.
Menghilangkan rasa ‘aku’ memerlukan energi psikologis yang terus menerus. Jika
‘bangga’ dan ‘aku’ ; menghadirkan kebahagiaan, kenapa harus di buang atau
diredam. Bukankah kita selalu mencari kebahagiaan? Itu bisa ditempuh jika kita
bertutup telinga dan abai hubungan sosial.
Cara yang bisa ditempuh agar bahagia dengan meredam ‘bangga’ dan ‘aku’ adalah
dengan meyakinkan diri jika tidak berkabar tentang kebanggan dan melepas ‘aku’ atau
mengendalikannya merupakan sebuah kebahagiaan yang lebih nikmat ketimbang
berbangga dan ber’aku’.
Mengendalikan, karena membunuh ‘bangga’ dan ‘aku’ sepertinya tidak mungkin.
22:55.28.03.2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar