Label

Senin, 20 November 2017

PILIHAN KETUA RW

calon ketua RW berangkat ke TPS bersama-sama
 djayim.com
Jadi ketua itu amanah. Tanggungjawab dunia akherat, harus siap dikritik dan dicemooh jika melakukan kesalahan, meski tidak disengaja. Ketua dalam sebuah kelompok masyarakat level bawah seperti Rukun Tetangga ( RT ) atau Rukun Warga ( R W ) menjadi sebuah jabatan yang sering kali dihindari oleh penduduk setempat. Penghindaran ini karena jabatan ini sebuah pengabdian tanpa gaji setiap bulannya. Jika pun ada, hanya sekedar uang jajan yang jika diperbandingkan dengan jerih payah yang harus dilakukan, sangat jauh dari sekedar pantas. Karena tidak ada ongkos material atau finansial-lah, jabatan ini dihindari. Tapi, pemilihan seorang ketua RT atau RW yang banyak orang tak ingin menjabatnya, tetap saja menjadi hal yang menarik dalam “pesta demokrasi” rapat umum pemilihan ketua RW.


panggung calon ketua RW dan aparat desa yang hadir


Di lingkungan RW-ku, pemilihan ketua RW dibikin seperti pemilihan kepala desa. Ada panitia pemilihan sekaligus panitia pelaksanaan yang bekerja dengan sungguh-sungguh dengan dukungan dana yang digalang dari warga dalam wilayah. Dalam pelaksanaan juga berstandar pemilihan umum,  ada surat undangan pemilihan, ada surat suara, ada daftar pemilih, meja panitia dengan segala kelengkapan alat tulis, ada bilik suara, ada kotak suara,ada panggung calon ketua RW, ada saksi dari setiap ketua RT dan traktag untuk melindungi kegiatan tersebut dari panas atau hujan. Ada juga hiburan pentas tarian yang diiring kenthongan yang menyelingi dan menghibur masyarakat yang datang.
Dan yang tak kalah menarik, semua calon diberi kesempatan untuk menyampaikan visi dan misi jika terpilih. Dengan tanpa beban seperti penyampaian janji politik dalam pilkada, mereka satu persatu menyampaikan hal-hal yang biasa-biasa saja, ringan dan sering menimbulkan gelak tawa para pemilih dan pengunjung yang duduk di deretan kursi-kursi. Tak ada ambisi ‘harus jadi’ seperti dalam pilkada atau pilihan kepala desa. Semua siap kalah dan siap menerima siapa pun yang akan terpilih. Sebuah prosesi pemilihan ketua ( kepala ) wilayah yang berlangsung dengan menyenangkan.

para pemilih yang menunggui sampai penghitungan suara selesai

Karena tidak mendapatkan gaji yang memadai itulah yang membuat jabatan ketua RW atau RT menjadi kursi yang tidak diperebutkan. Kontradiktif dengan jabatan kepala daerah ( Bupati / walikota, gubernur ) atau kepala desa yang  jabatan ini sebuah prestise dan ada finansial yang bisa diperoleh di sana. Maka, berbagai upaya untuk bisa terpilih menjadi bupati, gubernur dan kepala desa, dilakukan oleh para calon. Bahkan jauh-jauh hari sudah melakukan kampanye terselubung untuk mendapatkan simpati dari para calon pemilih. Maka tak mengherankan jika sepanjang proses dan setelah pemilihan tersebut sering terjadi gesekan-gesekan sosial yang tak jarang muncul tindakan anarkis atau tindakan kecurangan dari pihak-pihak yang ikut berkompetisi, baik dari si calon atau dari pendukungnya.

reapitulasi perolehan suara
Jika saja sebuah proses pemilihan kepala daerah (kepala desa, Bupati / walikota, gubernur) berjalan seperti pemilihan ketua RW atau RT, kegaduhan politik yang banyak sekali menguras energi, tentu dapat dihindari dan menjadi energi yang positif dalam berkehidupan bernegara. Saling mengisi dan mendukung untuk kemajuan yang baik dan sejahtera bagi semua. Dan, nampaknya itu hanya sebuah ‘jika saja’. Karena uang dan prestise, yang menyebabkan pemilihan ketua RW / RT menjadi berbeda dengan pemilihan kepala daerah. Uang menjadi alasan sesuatu tujuan yang sama ( memperoleh kursi ) menjadi berbeda dalam proses pelaksanaan dan setelahnya. Kenyamanan sebuah pelaksanaan demokrasi sangat terpengaruh oleh uang. Uang menjadi bisa untuk membeli segalanya, termasuk jabatan dan harga diri. Dan prestise ikut ‘mendukung’ kemampuan uang.


Jumat, 17 November 2017

MASJID DI PINGGIR KOTA

sebuah Cerpen. 

Langkah Kakek Ma’ruf  ke masjid menjadi lebih bergairah. Meski sebelumnya juga selalu tanpa beban jika menuju masjid. Senyumnya pun lebih sumringah dan cerah. “Semoga mereka benar-benar mendengarkan dan menjalani perintah Allah,” doa Kakek Ma’ruf setiap seusai sholat. Semoga kejadian yang menyengsarakan ini dapat menjadi jembatan bagi mereka untuk lebih dekat lagi kepada Allah.
Suaranya yang sudah lemah dan parau saat mengumandangkan adzan dalam dua tiga hari ini agak jarang terdengar. Bukan karena Ia tak mau lagi menyuarakan adzan, itu karena setiap waktu sholat tiba sudah ada orang yang siap mengumandangkan adzan. Tidak seperti sebelumnya, hanya Ia dan dua anak muridnya  - yang lebih sering telat ke masjid- yang biasanya bergantian. Murid yang kadang melanggar ajaran gurunya tanpa beban.
Masjid lumayan besar itu dibangun oleh seorang pejabat putra daerah. Waktu masih baru, cukup banyak orang yang datang beribadah dan mengaji. Bertambah waktu, terus berkurang sampai kemudian tinggal Kakek Ma’ruf yang kadang ditemani beberapa orang tetangga masjid dan satu dua bocah yang dipaksa mengaji oleh orangtuanya. Kakek Ma’ruf rajin membersihkan sekelilingi masjid, merawat dan menjadikannya tidak tampak seperti gedung tua tanpa penghuni.
Banjir yang enggan surut telah memberikan Kakek Ma’ruf banyak teman di masjid. Meski tujuan mereka menghindar dari genangan air yang menenggelamkan kaki-kaki rumahnya. Kakek Ma’ruf jadi betah lama-lama di masjid. Kadang Ia memberi ceramah agama atau mengajari baca tulis huruf arab kepada anak-anak kecil. Ia sering bercerita tentang masa lalu kotanya yang tak pernah banjir, tentang kali yang mengalirkan air jernih dengan beraneka macam ikan yang hidup di dalamnya, tentang masa mudanya yang katanya tak disia-siakan seperti kebanyakan anak muda sekarang, tentang guru mengajinya, tentang perjuangan segenerasinya mempertahankan kesatuan negara. Jika bercerita Ia selalu bersemangat hingga tak memberi kesempatan pada orang lain untuk ikut  bercerita. Bukan Ia tak bisa bicara masalah ajaran Agama Islam dan segala isinya. Ini sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian orang dan menyelipkan sedikit demi sedikit ajaran agamanya.
Masjid itu memang cukup besar untuk menampung seratusan orang. Halaman depan dan samping kanan kirinya juga cukup untuk mendirikan tenda-tenda darurat. Dulu pipa-pipa airnya normal di setiap kran yang tersebar di beberapa tempat dan sekarang hanya di tempat wudlu dan kamar kecil yang masih berfungsi. Itu pun karena Kakek Ma’ruf yang selalu menjaga dan menggantinya jika rusak. Kakek Ma’ruf tak cukup biaya untuk menggantinya semua, maklum Ia dan istrinya hanya berjualan kecil-kecilan di rumahnya yang terselip di gang sempit.
Jika datang waktu sholat, tak seluruh orang dewasa yang mengungsi di masjid itu mengerjakan sholat berjamaah. Mungkin mereka belum terketuk hatinya untuk melaksanakan kewajiban sholat, atau mungkin ada yang beda kepercayaan. Itu tak jadi masalah bagi Kakek Ma’ruf. Sekali dua kali canda anak-anak kecil yang berlarian sambil berteriak ketika sedang berusaha khusu sholat Ia maklumi. Tetapi ketika terus menerus setiap sedang sholat dan orang tua mereka membiarkan, Kakek Ma’ruf ingin juga menegur orang tuanya, meski setelah melalui berbagai pertimbangan Ia membatalkannya.
Ia baru pulang ke rumah setelah menjelang tengah malam. Kadang lebih malam lagi jika hujan dan lupa tak membawa payung. Sebelum Kakek Ma’ruf berbelok ke arah gang menuju rumahnya, Ia menyempatkan melihat masjid yang masih ada nyala terang lampu di ruangan dalam –biasanya hanya di teras depan- berisi para pengungsi yang penuh khawatir dengan sisa waktu kehidupan dirinya dan keluarganya. Kadang terdengar tangis bayi kedinginan di dalam tenda. Di serambi, beberapa lelaki bermain kartu menghibur diri melewati waktu lembab, memberikan hukuman jahil bagi yang dianggap kalah.
Tidak semua orang mau bersikap bersih terhadap keadaan sekitar masjid. Banyak diantaranya yang jorok dan bersikap tak peduli dan menimbulkan keadaan yang risih di mata. Kakek Ma’ruf dengan sabar dan telaten membersihkan sampah dan mengepel lantai masjid dengan harapan mereka yang melihat merasa tak enak hati dan menjaga kebersihan. Dan mereka tetap saja tak berubah. Mungkin mereka berpikir; toh hujan tak akan terus menerus. Sebentar lagi air akan surut dan kita segera kembali ke rumah.
Bertambah waktu, keadaan masjid bertambah kotor. Lantai halaman menjadi penuh lumpur dari kaki-kaki yang melewat jalan becek. Sampah basah berserakan di setiap tempat. Kakek Ma’ruf tak mampu maksimal membersihkan dan merawatnya meski sesekali satu dua orang membantunya. Ia kadang membawa dua anak muridnya untuk membantu. Keadaan itu tak membuatnya bersedih dan kecewa. Baginya sesuatu harus dikerjakan dengan ikhlas agar tak merasa jadi beban. Ia juga masih terhibur dengan masih ada beberapa orang yang mau mengaji dan mengerjakan sholat. Ia selalu menegaskan kepada dua anak muridnya; berbuat baiklah kepada semua orang dengan ikhlas!
Ketika bantuan bahan pangan dan obat-obatan datang, Kakek Ma’ruf harus bersiap-siap bekerja keras untuk membersihkan lantai masjid dan halamannya yang penuh sampah. Biasanya Ia memperhatikan para dermawan dari balik jendela masjid. Ia senang dengan masih ada orang yang mau memperhatikan kesusahan dan penderitaan orang lain. Para dermawan itu datang dengan mobil-mobil bagus, pakaian bagus, gemerlap perhiasan dan serombongan wartawan media cetak juga media elektronik.
Kakek Ma’ruf suka melihat anak-anak yang berebut tempat jika kamerawan televisi mencari sasaran atau fotografer yang berburu nuansa kemanusiaan, menuangkan seni dari lingkar penderitaan. Tawa riangnya seakan melepas simpul-simpul tali penderitaan orang tuanya yang harus menjaga kesehatan keluarga dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Anak-anak itu mungkin tak mengerti kalau ayah atau ibunya selalu ketakutan akan keadaan rumah dan segala perabotannya yang ditinggalkan. Bisa saja banyak yang rusak atau ada pencuri yang memanfaatkan keadaan. Mereka juga mungkin tak pernah mengerti kalau para orang tua juga harus tak berlama-lama mangkir kerja kalau tak ingin dipecat. 
Masjid itu menjadi terkenal setelah pemberitaan di berbagai media massa. Maka para pemburu berita berdatangan silih berganti. Mereka mencari sisi unik yang belum dituangkan di media lain. Sejarah masjid itu pun segera ditelusuri. Membubunglah nama pejabat yang membangunnya. Apalagi pejabat itu juga ikut menyumbangkan dana untuk korban banjir yang mengungsi di masjid itu. Ia menjadi tokoh yang sering dibicarakan dalam hal menangani masalah korban banjir. Pejabat itu mendapat angin baik. Ia segera dipromosikan ke jabatan lebih tinggi.
Tak tersebut nama Kakek Ma’ruf dengan jenggot yang memutih dan kulit muka mengeriput dalam berita manapun. Kakek Ma’ruf juga tak pernah tahu kalau pejabat yang jadi berita itu yang memiliki saham cukup besar di perusahaan koran dan stasiun televisi. Ia juga tak merasa ingin dan perlu tahu. Darimana pejabat itu bisa punya saham di beberapa perusahaan, tak pernah terlintas di benak Kakek Ma’ruf untuk tahu.
Banjir mulai sedikit surut. Hujan yang turun, meski sering, tidak lebat dan deras seperti sebelumnya. Halilintar masih sering garang menyalak. Satu dua keluarga yang letak rumahnya agak lebih tinggi mulai pulang. Mereka mulai membersihkan rumah dari segala kotoran. Untuk menjaga kesehatan anak-anaknya yang masih kecil ada yang tak segera membawa  pulang keluarganya, hanya pulang untuk menengok dan membersihkan rumah.
Ma’mum Kakek Ma’ruf terus menyusut, seperti menyusutnya air yang menggenangi rumah-rumah mereka. Sedikit anak-anak masih ada yang mendengarkan cerita dengan nuansa ajaran Islam. Entah, mereka mengambil hikmah seperti yang dikehendaki Kakek Ma’ruf atau tidak. Senda gurau satu dua anak kadang lebih menjadi perhatian yang lain.
Di siang hari, para lelaki dewasa dan ibu-ibu yang tak punya anak kecil, pergi mencari uang. Malam harinya, dari mulai petang, tidur melepas lelah setelah seharian bergelut dengan kehidupan dunia. Ya, hanya tidur, karena lebih jauh dengan istri sangat tak memungkinkan dalam kondisi seperti itu.
Kakek Ma’ruf merasa kesepian di antara orang-orang yang berserakan tidur tak teratur di lantai masjid, di serambi dan tenda-tenda di halaman. Jam dinding di atas ruang imam menunjukan jam sembilan kurang seperempat. Orang terakhir yang diajak ngobrol tertidur menyandar di tembok. Gerimis lembut berjatuhan, terbang terbawa angin. Kakek Ma’ruf melangkah pulang dengan sedikit mengangkat kain sarungnya. Ia menutupi kepalanya dengan sajadah karena lupa tak membawa payung. Seperti biasa, sebelum Ia berbelok memasuki gang, Ia menyempatkan memandang masjid dengan nyala redup di dalamnya.
                                                * * *
Banjir telah benar-benar surut. Para pengungsi semuanya telah pulang meninggalkan kenangan, sampah dan kotoran. Tiga hari Kakek Ma’ruf dan dua anak muridnya membersihkan seluruh bagian masjid.
Sehabis sholat Isya, ketika menunggu hujan sedikit reda, di teras depan, Kakek Ma’ruf termenung sendirian. Di hatinya ada rasa kangen pada orang-orang dan anak-anak yang sempat tinggal sementara di masjidnya. Dan Ia bergumam,”Mereka datang hanya ketika dalam kesusahan.”  ***
                                                                                    Maret 2004


Kamis, 16 November 2017

kereta sore

dua garis baja di bawah itu, sudah berpuluh kali mengantarku.
juga ribuan yang lain.
di kanan kiri, sepanjang yang terlewati. tertera banyak sekali cerita
di musim penghujan ini, para petani sudah turun ke sawah, bercengkerama dengan air dan tanah. dengan lumpur berbau harum daun-daun busuk yang menyegarkan. keringat yang luluh bersama air hujan, tak membekas di baju. caping yang dipakai, tak cukup mampu menjaga kulit kepala dan  rambut agar tetap kering. langit yang berair dan angin yang membuat jarum-jarum hujan turun miring, membuat mereka tak tahu waktu, kapan harus pulang, untuk
menyiapkan makan malam.
memberi makan kambing, mengandangkan ayam dan itik. menutup jendela, menyalakan lampu di ruang tengah. karena, anaknya yang masih sekolah belum pulang. karena yang sudah lulus sekolah telah lama di kota, tak mau jadi mau petani seperti ayah ibunya. karena menjadi petani susah untuk menjadi kaya.

di gerbong-gerbong eksekutif, para juragan menghitung modal dan untung saat musim panen. duduk bersilang kaki, berbatuk kecil dan tersenyum sedikit di salah satu ujung bibir. menjentikan ujung jari dan berucap. ‘terimakasih’.

16 Nop 2017

Senin, 06 November 2017

BONEKA KUCING

Bulu-bulu lembutnya sudah kusut, warna coklatnya tak lagi cerah seperti ketika baru beli. Meski Mida menyadari hal itu, Ia tak pernah berpikir untuk beli penggantinya. Berbagai peristiwa dalam arungan hidupnya di lalui bersamanya, boneka kucing. Saksi yang sanggup menyimpan seluruh peristiwa yang Mida tak ingin orang lain tahu. Saksi dan juga teman yang sanggup bercerita apa saja jika Mida mau. Bisa menghibur, bisa diajak bercanda, ngrumpi, tanpa terbebani pamrih.
            Mida tak ingat betul wajah orang yang membelikan boneka kucing itu. Yang Ia ingat, Ia harus memanggilnya Oom. Katanya orang itu sepupu ayah Mida. Sepupu dari silsilah mana, Mida tak tahu pasti, sedang ayahnya saja Ia tak pernah tahu. Waktu itu Mida kelas lima esde mau naik ke kelas enam. Tapi Mida tak ingat betul, apa sudah kelas enam atau baru kelas empat. Mida tak ingat betul. Atau mungkin sudah esempe. Samar. Mida paling tak suka kalau harus menjenguk masa lalu, apa itu indah atau menyakitkan. Apapun.
            Namanya Oom Wisko. Orang yang selama ini menjadi pengasuhnya di rumah. Ia kadang mengantar Mida sekolah, sesekali menjemput mengajak jalan-jalan. Tak jarang juga Oom Wisko menemani Mida tidur. Sampai suatu pagi Mida tak lagi menemukan boneka kucingnya tak lagi di pelukannya. Boneka  kucing itu tergeletak tenang di lantai. Di bulu-bulu halusnya ada cairan lengket yang bau aneh. Mida memungutnya. Membersihkannya. Mida mencoba mengingat-ingat mimpi semalam. Terbang ke langit tinggi dalam pelukan kuda yang perkasa bersayap lebar. Terbang ke awan, berguling-guling di atasnya.
            Ketika Mida hendak berdiri, rasa nyeri menusuk pangkal pahanya. Mida kaget. Berjalan tertatih, membuka pintu keluar kamar. Di ruang tengah Tante Ana sedang marah besar. Isi ruangan porak poranda berantakan. Oom Wisko diam tak bersuara duduk di sofa. Sejak itu Oom Wisko dan Tante Ana tak pernah akur. Sering bila Oom Wisko tak di rumah, Tante Ana menerima tamu dan tidur bersama. Ancaman Tante Ana membuat membuat Mida menjadi saksi yang baik bagi tante Ana. Mida tak tahu apa yang dikerjakan dua orang lain jenis kelamin itu. Mida juga tak tahu pekerjaan Oom Wisko dan Tante Ana. Bahkan Ia tak tahu nama lengkap Oom Wisko dan Tante Ana. Atau mungkin nama itu bukan nama aslinya.
            Mida kadang heran kenapa tak pernah ketemu dengan orang yang mungkin ayahnya, atau mungkin ibunya atau benar-benar ayah dan ibunya. Pernah hal itu Ia tanyakan pada Oom Wisko dan Tante Ana.
            “ Ayahmu sedang pergi jauh. Juah sekali. Nanti kalau pulang pasti jemput kamu. Bawa oleh-oleh banyak untuk kamu,” jawab Oom Wisko.
            “Kalau Ibu di mana Oom?”
            “Ibumu sedang memijat Oom-Oom gendut!” jawab Tante Ana ketus, menyambar jawaban. Bibirnya mencibir lengkap dengan raut mukanya.
            Mida melongo, diam dalam ketidakpercayaan. Oom Wisko yang sudah mengangkat bibir  tak jadi bicara. Ia hembuskan nafas dengan sedikit disentak.
            Yang Mida tak habis pikir, meski Tante Ana selalu memarahi, Ia mau saja membayar sekolah Mida. Belakangan Mida dengar-dengar kabar, kalau rumah yang ditempati bersama Oom Wisko dan Tante Ana adalah milik orang tua Mida. Tapi, seperti apa orang tuanya, Mida tak pernah ada bayangan. Tak satupun foto terpampang di tembok ataupun album agar Mida bisa mengira-ira wajah yang paling mirip dengannya. Ada maksud apa Oom Wisko dan tante Ana saling bertahan di rumah itu dengan sering sekali terjadi pertengkaran dengan berbagai macam sebab. Apa mereka suami istri? Itu juga tak pernah Mida tahu.
            Pernah, pernah teman Tante Ana merangsak masuk ke kamar Mida . Mida menjerit sekuat tenaga. Lelaki itu terus memburu Mida, seperti robot menerkamnya. Mida berontak. Ia kehabisan kekuatan dan gelap. Ketika terbangun ranjangnya berantakan. Ia bergegas memakai baju. Ia peluk boneka kucingnya dan tidur dengan leluasa. Kadang Mida berpikir kenapa harus susah-susah berontak kalau akhirnya  kalah juga, tak berdaya. Buang-buang tenaga. Buang-buang energi!
            Suatu ketika Mida disuruh mengambil tas dari seseorang di suatu tempat. Ia hanya diberi denah jalan. Sampai di rumah Mida disambut bak pahlawan perang. Oom Wisko dan Tante Ana mendadak akur dan mesra. Mida senang bisa berbuat itu. Ia Kemudian diberi kesempatan bertemu pacar lebih lama. Uang saku pun bertambah. Apa isi tas itu tak bikin Mida penasaran.
            Di sekolah Mida tak pernah punya kendala masalah kenaikan kelas ataupun  kelulusan, meski nilainya jeblok, Mida melenggang tak berbeban. Oom Wisko biasa lobi sana-sini. Oom Wisko banyak teman dan pandai bergaul. Di luar rumah Oom Wisko seorang yang ramah, pintar bicara, sopan, cekatan, simpatik, semangat dan menyenangkan. Bergerak tak kenal lelah, energik.
            Di sebuah pesta yang diadakan di hotel termewah di kotanya, Oom Wisko, Tante Ana dan Mida datang bersama. Pesta orang-orang bergengsi tinggi. Mida banyak kenal wajah-wajah teman pria Tante Ana  juga wajah-wajah teman-teman wanita Oom Wisko yang sering datang ke rumah. Mereka tertawa-tawa. Mecemooh kebodohan orang-orang di luar; di pinggiran, di tepi sungai kumuh, di terminal, di kolong jembatan, di jalanan, di desa, di kampung, di pantai, di gunung, di sawah, di ladang, di gubuk-gubuk reyot.
            Di sudut ruangan, seseorang berpakaian rapi, bertubuh sedang dengan rambut sedikit beruban disisir rapi, duduk di sofa di kelilingi orang-orang bertampang borju. Matanya tak lepas menatap Mida. Ada pancaran kerinduan dan kasih sayang tertahan yang ingin sekali ditumpahakan tuntas. Oom Wisko mendatanginya. Sebentar berbincang. Orang itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya, diberikan pada Oom Wisko: boneka kucing, “Untuknya dan tolong jaga dia.”
            Mida bingung, “Oom Ini boneka dari siapa?”
            “Dari bapak itu.” Telunjuknya menunjuk lurus pada seseorang. Wajah yang Mida tak mengenal. Mida memandangi lekat-lekat boneka kucing di tangan. Persis sama seperti yang ada di rumah. Persis! Apa boneka kucing ini boneka yang di rumah dan orang itu membawanya untukku? Apa aku tadi pergi membawa boneka kucingku, kemudian jatuh di jalan dan orang itu memungutnya untukku? Tidak! Aku ingat betul, bonekaku kutaruh diatas bantal samping selimut di ranjang tidur.
            Boneka kucing yang kadang bisa berubah menjadi makhluk yang mendengus-dengus, membelai, mencengkeram, membangunkan dari mimpi. Boneka yang patuh tak akan bicara jika tak diminta. Takkan berhenti bicara jika tak diminta. Boneka yang kadang Tante Ana merebut dengan paksa.
            Di mana Tante Ana? Kenapa menghilang? Membiarkan Mida dalam keterasingan. Meski Mida merasa sorot matanya telah menjelajah ke seluruh ruangan, Ia tak menemukan Tante Ana. Kenapa wajah wanita-wanita itu, tante-tante itu, semuanya sama. Apa Tante Ana juga telah berganti rupa? Mida mengusap mata berkali-kali, tak percaya.
            “Mida. Kau harus tahu. Di luar sana dunia itu begitu lucu. Lucu yang kita telah lupa untuk mentertawakannya. Lucu yang kita tak tahu bagaimana mentertawakannya. Begitu banyak aturan, begitu banyak pelanggaran, begitu banyak biaya terbuang sia-sia, begitu banyak omong kosong, begitu banyak hal yang kita harus hati-hati menghadapinya. Jangan mudah percaya. Juga pada orang yang kamu sangat mempercayainya pun!”
            Kata-kata Tante Ana yang Mida sudah hafal dan bosan mendengarnya, kini Mida mendengar dari mulut-mulut wanita-wanita kembar di sekeklilingnya. Mereka berkata bersama-sama. Seperti koor. Seperti paduan suara. Seperti membaca puisi bersama-sama dengan penuh penjiwaan. Dan para pria berbaju rapi asyik dengan gelas minumannya, ngobrol dengan tawa-tawa terkendali.
            Musik lembut mengisi ruangan dari pelantun dan pemusik yang bersahaja dan menjiwai. Tak meledak-ledak. Pelan membawa penikmatnya ke alam kedamaian. Tak ada orang yang berkata kotor meski  mabok berat. Semuanya berjalan sesuai aturan dengan tak ada orang yang mencoba melanggarnya.
            Mida tak tahu kapan pesta akan usai. Ia keluar gedung tanpa pamit ke Oom Wisko atau Tante Ana. Di pintu gerbang Mida mengganggukkan kepala memberi hormat pada dua orang satpam. Ketika Mida telah membelakangi, kedua satpam itu hanya sedikit menghela nafas melihat  boneka kucing yang ditentengnya.
            Di luar, di depan jalan raya, Mida tak tahu arah. Ia coba mencari bis yang trayeknya lewat depan rumahnya dengan melihat papan trayek di jidat bis. Satu hal yang bikin Mida bingung tak habis pikir lagi, banyak diantara orang-orang yang lewat mengendari mobil bagus lewat di depannya, melihat tajam boneka kucing di tangannya. Mereka memandang cukup lama dan tersenyum penuh misteri. Mida tak tahu bahasa tatapan mereka. Mida terpaku dan tak terkonsentrasi membaca trayek bis yang lewat. Mida merasa tenggorokannya kering. Tengak tengok kanan kiri mencari penjual air mineral. Di seberang jalan, dengan pandangan mata terhalang lalulalang kendaraan lewat, Mida melihat wanita-wanita berbaris menenteng boneka kucing. Ada yang seumur Mida, lebih tua, lebih muda, ada yang masih anak-anak. Ia pandangi lekat-lekat. Boneka kucing itu persis seperti punyaku! Sama. Di belakang mereka banyak sekali wanita-wanita berjalan menenteng boneka kucing. Boneka yang sama seperti di tangan Mida. Mereka berjalan ke seluruh penjuru arah dengan langkah biasa. Langkah kaki mereka kompak. Kanan, kanan semua, kiri, kiri semua. Panjang langkahnya sama. Sama! Dan warna dan pola bajunya sama, seperti punyaku.    
            Di kanan kiri Mida telah berjejer wanita berbaju seragam menenteng boneka kucing. Dibelakang Mida telah ada begitu banyak wanita-wanita itu. Mida bingung. Pusing. Langit berputar-putar. Ia ingin berteriak, ingin sekali. Tapi, ia sadar itu tak akan ada artinya. Ketika secara tak sadar menjerit, orang-orang di sekitarnya tak sedikitpun menaruh perhatian. Mereka sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Apa aku mimpi? Apa aku sedang menghayal? Di Alam apa aku ini?
            Mida berlari. Berlari kencang sepanjang pinggir jalan raya. Di sambarnya sebotol minuman di pedagang asongan. Ditenggak separuh, diguyurkan ke kepala. Ia terus berlari. Berlari sekuat mengangkat kaki. Sepanjang jalan Ia berpapasan atau searah dengan wanita-wanita yang menenteng atau memeluk boneka kucing. Di jalan, di mobil-mobil bagus, pria-pria parlente memandanginya sambil tersenyum enteng.
            Di depan sebuah pintu gerbang rumah tubuh Mida ambruk. Ia tak sanggup lagi membagi energi ke kaki untuk menopang berdiri.
            “Mida, ayo bangun, Mida. Masuk! Mandi dan istirahat di rumah. Ayo!”  Suara Oom Wisko mengagetkan Mida.
            “Ayo, saya bantu kamu berdiri,” bujuk Tante Ana. “Ayo sayang. Semua akan baik-baik saja. Jangan biarkan ilusi-ilusi itu mengganggumu. Kau harus buang jauh-jauh. Tak ada pesta itu. Tak ada wanita-wanita itu. Tak ada.”
            “Tante melihatnya?”
            “Melihat apa?”
            “Yang Tante tanyakan tadi.”
            “Tanya apa?”
            “Yang Tante katakan tadi.”
            “Tidak sayang. Tidak ada itu.”
            Kalau saya mimpi, kalau saya berilusi, bagaiman Tante Ana bisa tahu, pikir Mida.
            “Sudahlah, semua akan baik-baik saja. Ibumu akan sedih kalau Ia tahu kamu begini. Ayolah bangun.”
            “Ibu? Di mana ibu saya Tante?”
            “E…..e..nggak. Nante kamu akan tahu sendiri. Tahu sendiri tanpa perlu dikasih tahu.”
            “Saya ingin tahu sekarang Tante. Ingin Tante kasih tahu sekarang.”
            “Belum saatnya.”
            “Kenapa?”
            “Nggak kenapa-kenapa.”
            Di dalam kamarnya Mida mendapati boneka kucing yang ditinggal di atas bantal terkulai lemas tertindih guling. Mulutnya dilakban hitam.
            “Tante, siapa yang melakukan ini?”
            Tante Ana datang menghampiri. Ia ulurkan sebuah apel pada Mida. “Kamu kan sudah dapat gantinya, Boneka kucing yang baru kan lebih bagus.”
            ”Tidak. Aku mau yang ini.”
             “Kamu bisa diam nggak?!”
            “Diam!!”

            Mida kaget. Boneka kucing di tangannya membentak sambil bergetar. Dari lubang mulutnya menjulur sebua pisau tajam. ***

pekerja di bawah umur

salahkah saya, karena masih usia sekolah, berangkat kerja pagi pulang malam
saya butuh uang, butuh banyak untuk membeli.
untuk beli pulsa, beli quota internet, beli baju, beli sepatu, beli makan enak.
setidaknya saya tak perlu minta pada ibu, karena ia telah begitu capai, begitu lelah.
lelah hati, lelah pikiran, lelah tenaga. pasrah yang tak bertumpuan.
terduduk bersimpuh di lantai semen yang mluduk dan bertambal. bersandar pada dinding berjendela kecil rapuh yang harus berhati-hati jika membuka dan menutupnya.
ia tak juga cukup bisa menyisakan uang untuk bayar sekolah dan seragam. dan uang jajan yang setiap pagi tak pernah absen.
bukan saya tak mau sekolah, bukan. saya kasihan ibu yang matanya kering karena ingin aku senang.
karena saya pengin cari uang. karena uang itu.
karena, meski saya harus berdesakan hidup di kampung kumuh dengan air got yang tak mengalir, dengan lorong gang sempit yang pengap yang di atasnya bergelantungan jemuran, yang ketika malam ribuan nyamuk memburu kulit manusia.
saya pengin juga pergi ke mall berbelanja rupa-rupa, seperti mereka yang bersepatu tinggi mengkilap. seperti di sinetron-sinetron  yang ceritanya berputar-putar seperti kebingungan.
tapi, jika bisa, saya pilih bersekolah dan menunda keinginan.

jangan salahkan mereka yang menampung saya kerja. jangan salahkan siapa-siapa.
para aktivis itu, yang menebar keprihatinan, yang mengumbar penyesalan. itu,
; saya juga ingin sekolah. kalian mau menyekolahkan saya? kalian berani berkorban?
katanya ilmu itu mahal. mahal juga untuk membelinya.
ijazah itu mahal. mahal juga untuk mendapatkannya.
saya tahu itu, ijazah yang membedakan gaji-gaji. bukan tangan-tangan yang cekatan.
orang pintar tanpa ijazah, tak terlihat di sini.
saya terima itu. tidak apa-apa.
karena harus ada orang seperti saya agar bos-bos itu cepat kaya. agar gampang ditakut-takuti dan tak banyak protes.

jika saya tak mengganggu kalian, biarkan saya kerja.
jika mau bantu saya, sekolahkan saya.
berbicara di depan mikropon itu, tak membuat saya bisa berangkat sekolah. tak bisa membantu ibu yang keleahan mencari uang.

sudahlah, ini nasib saya. apalagi smapai menyalahkan pemerintah. saya takut dihukum.
saya takut nanti ibu menggigil ketakutan,


Sabtu, 04 November 2017

REGISTRASI KARTU SELULER PRABAYAR Vs HOAX

Peraturan Menteri Kominfo No 21 Tahun 2017 yang mewajibkan para pelanggan prabayar operator seluler untuk meregistrasi ulang dengan mengirim nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK), banyak yang tidak setuju dan mengajak untuk tidak meregistrasi.

Ketidaksetujuan mereka dengan melakukan berbagai upaya seperti menyebar berita kalau kewajiban meregistrasi adalah hoax dan tak perlu. Ada juga yang mengkaitkan dengan kepentingn politik yaitu pilpres 2019 dengan argumen yang dikait-kaitkan agar tampak argumentis. Mengajak kaum muslim untuk tidak meregistrasi agar operator seluler merugi dan menakut-nakuti jika kita mengirim NIK dan nomor KK akan bisa dicuri data-data kita di bank tempat kita menyimpan uang. Apa pengelola bank sedemikian bodohnya sehingga akan mudah dicuri data-data nasabahnya yang dilindungi undang-undang. Apa tidak perangkat lain untuk melindungi transaksi keuangan lewat internet banking atau ATM. Dengan berganti password dan PIN secara berkala, kemungkinan tabungan di bank di bobol sangat kecil, apalagi jika hanya dengan mengambil data dari telepon seluler yang dikaitkan dengan data di bank.

Ada juga yang protes karena omset penjualan kartu perdana menurun drastis. Bisa dimaklumi, tapi, untuk sebuah kepentingan yang lebih besar, apa keuntungan yang didapat dari sedikit orang akan mengorbankan kenyamanan dan keperluan yang lebih besar.

Saya sendiri sering merasa terganggu oleh para penipu yang mengabari mendapat undian, mama minta pulsa, anak kecelakaan dan hal lain, yang bagi sebagian orang ada yang masuk perangkapnya. Di tempat saya ada yang ketipu sepuluh juta karena dikabari anaknya yang diperantauan kecelakaan dan baru sadar setelah menelpon anaknya yang sedang baik-baik saja. Dengan cara-cara yang di seting sedemikian rupa dan si calon korban di telepon dengan back sound seolah sedang terjadi kecelakaan. Saya sendiri pernah di telepon dan dikabari anak saya mengalami kecelakaan. Suara si penelepon di bikin kadang jelas kadang tidak jelas, seperti menunggu si calon korban menyebut nama. Saya biarkan, beberapa saat nelpon lagi. Saya sadar itu modus penipuan, maka saya berpura-pura jadi calon korban yang masuk perangkapnya. Entah dari mana mereka nomor telepon untuk mencari korban.

Saya kira, ajakan untuk tidak meregistrasi ulang nomor seluler pasti orang-orang yang tidak punya niat baik. Jika kita tak berbuat macam-macam yang merugikan orang lain, kenapa harus menyembunyikan identitas?
Dengan terigistrasi secara benar sesuai data identitas yang ada, para pelaku penipuan dan kejahatan yang memanfaatkan telepon seluler akan mudah terlacak. Maka kenyamanan mempunyai telepon seluler akan terjamin. Tidak ada lagi sms tengah malam yang isinya penipuan dan mencari calon korban.


Jika kita benar, kenapa takut?

Selasa, 31 Oktober 2017

KESADARAN MEMBUANG SAMPAH

Sampah masih menjadi hal yang tidak diperhatikan oleh banyak orang. Sering kali pengendara mobil ataupun motor membuang sampah seenaknya di jalan ketika sedang melewat. Jalan dianggap sebagai tempat umum yang siapa saja boleh membuang sampah. Beberapa kali saya menjadi saksi seorang pengendara motor berhenti di atas jembatan dan seenaknya membuang sampah di sungai di bawahnya. Juga saya menyaksikan seorang bocah seumuran anak SMP yang berboncengan dengan ( mungkin ) ibu dan adiknya, membuang bungkusan plastik sampah di sungai ketika melewati jembatan, pada lokasi yang cukup ramai. Juga sering saya saksikan orang membuang sampah dari dalam mobil dalam perjalanan. Sepertinya mereka beranggapan, yang harus bersih dari sampah hanya di dalam mobil saja, di luaran, di jalan tak perlu diperhatikan dan bebas saja. Saya yakin jika ada orang biasa yang bukan aparat menegurnya, mereka akan marah dan merasa tak perlu dipersalahkan. Bahkan di sebuah sekolah, para siswa membuang sampah di sungai yang di dekatnya ada tulisan bijak tentang sampah, dan guru membiarkan kebiasaan itu. Jalan dan sungai seolah sebuah tempat pembuangan sampah yang siapa saja boleh menggunakannya. Di pinggir-pinggir hutan juga kita sering melihat sampah yang dibuang sembarangan. Di bekas-bekas keramaian, pasti ada sampah berserakan seluas tempat yang berkerumun.

Konsep bersih dari sampah, hanya di sekitar tempatnya tinggal. Jika di rumah, bersih yang terpikirkan hanya di dalam rumah dan di halaman depan. Di mobil saat dalam perjalanan, bersih hanya untuk di dalam mobil, jalan menjadi tempat sampah yang panjang dan luas. Penghuni sekitar jalan adalah orang yang tak dikenalnya dan tak perlu diperdulikan. Dan cara mudah membuang sampah sambil berlari adalah pilihan yang tak perlu diragukan.

Perlu penyadaran yang intens kepada seluruh penduduk untuk berbuat bijak dalam memperlakukan lingkungan, agar tidak membuang sampah dengan sembarangan di sembarang tempat. Karena tempat tinggal bukan hanya lingkup kecil sesaat ketika berada. Lingkungan secara keseluruhan adalah satu kesatuan yang saling berkaitan. Harus ada pendidikan sejak dini kepada anak-anak dan juga semua generasi tentang bagaimana  menyikapi dan meperlakukan sampah pada lingkungan secara keseluruhan.

Undang-undang atau peraturan tentang sampah harus ada dan segera diberlakukan. Denda yang tinggi dan hukuman yang berat bagi pelanggar agar memberi efek jera bagi calon pelanggar. Jika cara sebagian besar orang memeperlakukan sampah dengan sembarangan dibiarkan dan terus menerus menambah polusi, kerusakan lingkungan akan terus meningkat dan pasti mempengaruhi kualitas berkehidupan manusia.

Kesadaran membuang sampah, sangat darurat.

Selasa, 24 Oktober 2017

ndilalah

Dalam bahasa Jawa ndilalah itu diartikan sebagai sesuatu kejadian yang diluar rencana dan tak terduga. Ada kekuatan lain dalam kejadian yang disebut ndilalah. Kekuatan Yang Maha Kuasa yang mengatur kejadian tersebut, sehingga apa yang tak diduga menjadi sebuah awal jalan yang baik atau sebaliknya. Baik atau tidak baik menurut versi sementara bagi si penerima ‘ndilalah’, karena jalan panjang yang berubah arah karena kejadian ndilalah, belum bisa diketahui sepenuhnya.

Sebuah kejadian atau hasil sebuah proses, yang bagi kita sekarang dianggap tidak menyenangkan dan mengecewakan, bisa saja dikemudian hari ternyata menjadi sebuah awal yang lebih baik dari yang kita duga dan dicita-citakan. Kekeceewaan seseorang seringkali terjadi karena sesuatu yang terjadi tidak sesuai harapan pada waktu yang diinginkan. Waktu menjadi sebuah ukuran keberhasilan. Semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan keberhasilan, makin terasa sebuah kesuksesan. Meski tidak tahu apakah kesuksesan itu akan berlanjut dala jangka panjang atau hanya sesaat yang melenakan. Sebuah proses pencapaian yang diperoleh dengan lambat tapi terus berkembang sering menimbulkan rasa tidak sabar yang kemudian mencari jalan lain yang lebih cepat.

Masa yang akan datang adalah misteri bagi setiap manusia. Kejadian sepuluh menit kemudian pun kita tak bisa memastikan akan terjadi begini, akan terjadi sesuai rencana. Manusia hanya bisa membuat rencana dan dalam pelaksanaanya tergantung pada campur tangan Tuhan. Bisa saja sebuah rencana berjalan sesuai dengan yang inginkan, tapi bisa juga sebaliknya. Campur tangan Tuhan itulah yang disebut ndilalah. 

Seseorang terlepas dari kecelakaan maut karena ndilalah ia terlambat datang sehingga ketinggalan bis yang dalam perjalanan terjadi celaka. Seorang serdadu selamat dari pertempuran hebat karena ndilalah ia terperosok dalam lubang dan terhindar dari serangan musuh. Seseorang tidak lolos dari ujian karena ndilalah pas hari ujian ia sakit. Seseorang tidak jadi berangkat liburan karena ndilalah ada sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Dan, ketidakbisaan itu kadang menjadi jalan lain yang kita tidak tahu sebelumnya dan tak direncanakan yang ternyata lebih baik dari yang kita rencanakan sebelumnya.

Ndilalah itu campur tangan Tuhan dalam sebuah kejadian yang berkelanjutan. Tentu ini bagi yang percaya Tuhan. Sebuah misteri yang datangnya tak pernah kita tahu dan kapan ndilalah itu terjadi. Merencanakan sesuatu untuk melakukan apa-apa yang akan datang, itu sebatas kemampuan manusia yang harus tunduk dan menerima ndilalah apapun yang terjadi. Bukan pasrah terhadap campur tangan Tuhan dan tidak berbuat apa-apa, tapi ndilalah itu datangnya sesuai rencana Tuhan, hanya kita saja yang tak bisa memahami.

Ndilalah itu rencana Tuhan yang kita tidak bisa tahu dan tidak bisa memahami. 

Sabtu, 21 Oktober 2017

PRIBUMI, kenapa ?

Tiba-tiba saja saya pengin menyatakan lebih tegas, saya pribumi!
Pidato perdana Gubernur DKI 2017-2022, Anis Baswedan yang menyelipkan kata pribumi yang kemudian menjadi pembahasan di berbagai media, telah menyadarkan kalau pribumi masih perlu bangkit lagi agar tidak terjajah dan terpinggirkan. Lepas dari penggunaan kata pribumi yang telah di atur lewat UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis dan juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyeleng-garaan Pemerintahan, faktanya masih ada tanggul pemisah antara pribumi dan non-pribumi.

Jika kata Pribumi diartikan sebagai siapa saja warga Negara Indonesia yang setia membela negara, mengakui lahir bathin kewarganegaraannya, dan selalu ingin Indonesia lebih maju dan baik dengan tidak ikut merusak seluruh tatanan negara. Berapa prosen orang non pribumi yang telah lahir turun temurun di Indonesia yang berlaku demikian? Dan berapa yang berlaku sebaliknya. Dan, apakah mereka juga merasa pribumi dengan sepenuh hati? Dan, tidak merasa ingin menyingkirkan pribumi ke pinggiran dan lambat laun membangun diri menjadi super power di sekelilingnya?

Keinginan sebuah kelompok pada ras tertentu untuk membuat pagar di sekelilingnya dan membuat sebuah wadah adalah hal yang manusiawi. Sekelompok orang yang merasa ras keturunan, meskipun nenek moyangnya lahir di sini dan entah generasi ke berapa, akan merasa senasib sepenanggungan dengan kelompoknya. Mereka akan merasa sebagai satu saudara yang saling perhatian, saling mendukung dan merasa harus menjadi satu ikatan agar kuat dan tidak dilemahkan oleh yang lain. Itu bisa saja terjadi di mana pun dan pada kelompok manapun

Orang pribumi juga sangat wajar untuk menjaga eksistensinya dan berperan aktif dalam segala hal dalam wilayah negaranya. Juga wajar saja jika dalam hatinya merasa lebih berhak, meski jika jadi pejabat publik, kata-kata merasa lebih berhak tidak akan diucapkan disembarang tempat. Ada cara halus mengatakannya pada lingkungan, ruang dan waktu tertentu dan cara berbeda pada komunitasnya. Jika kelompok sebelah membuat sebuah kelompok eksklusif dengan merasa perlu membentengi kelompoknya, apa kita harus diam saja demi agar tidak disebut rasis? Apa mereka tidak bisa disebut rasis dengan caranya mengelompokan diri?

Idealnya, hidup berdampingan tanpa melihat ras, agama, suku dan golongan. Saling bekerjasama, bantu membantu, saling memberi, saling menolong dan tak ada pertentangan perbedaan dalam menjalankan perintah agama. Karena tak ada satupun yang bias menolak kita dilahirkan dari suku atau ras mana. Kita lahir langsung menyandang ras tertentu pada tempat yang tertentu yang tidak bisa ditolak. Akan sangat indah jika tidak perlu bersusah payah berkelompok-kelompok berdasarkan ras / suku agar lebih ( merasa ) superior dibanding dengan yang lain. Itu bisa terwujud jika tidak ada yang mendahului untuk membuat kelompok yang dilandasi persamaan ras yang kemudian berkelanjutan untuk unjuk kekuatan pada yang lain.

Jika hanya menghindari kata pribumi agar tidak dicap rasis tapi membiarkan yang non-pribumi membuat kelompok pada ras-nya, apa itu yang disebut bijak? Membiarkan yang diluar ras-nya membangun diri untuk menjadi kuat, dan membiarkan kelompoknya tercerai berai demi untuk disebut menghargai dan anti rasis, apa itu tindakan yang baik dan perlu dihargai?

Kita tetap harus menjadi tuan di negeri sendiri, bukan membiarkan yang lain lambat laun mau menjajah kita. Yang lahir dan besar di negara ini, siapapun, ras manapun, suku manapun, yang merasa telah menjadi pribumi, mari bersama-sama membangun. Yang merasa non-pribumi padahal lahir besar di sini dan tidak punya rasa patriotisme, apa akan terus mengekslusifkan diri dan marah jika tidak mendapat persamaan hak. Kalau begitu yang rasis siapa?

POSE CALON KADA

Berpose untuk dipampang di pinggir jalan dan di banyak tempat, pasti dibuat sebagus mungkin demi untuk menciptakan daya tarik bagi siapa saja yang melihat. Pose gambar yang dipilih dari sekian banyak foto, tentu dengan berbagai macam pertimbangan. Pada sebuah iklan produk, pose personal ( model iklan ) yang menawarkan produk sekedar sebagai ‘jalan masuk’ bagi produk yang ditawarkan. Pada iklan calon kepala daerah ( Kada ), photo yang terpampang itulah yang harus membuat si pelihat tertarik dan mendukung.

Ada yang bergaya santai dengan senyum. Ini mungkin sedang menyampaikan pesan, saya orangnya ramah, welcome, dekat dengan siapa saja dan siap menjadi pemimpin yang memperhatikan rakyatnya.

Ada yang pasang muka serius, berpeci, bersorot mata tajam mentap sedikit tinggi tanpa dipoles senyum. Tak ada background yang warna warni. Sebuah keseriusan dan ketegasan terkesan pada posenya.

Ada yang berpose dengan memakai jas hitam, berdasi, memakai peci dengan tanpa senyum, bersorot mata datar. Kesan yang terbaca, saya juga mencalonkan diri jadi kepala daerah lho...

Ada yang tersenyum yang cukup lumayan akting senyumnya, dengan mata menatap sedikit tajam agak redup. Dan berkesan, ayo dukung aku, karena aku yang siap dan paling bisa.

Ada yang seperti foto KTP dengan di iringi tulisan program unggulan normatif. Tak bayak kesan yang bisa terbaca, hanya kita bisa menebak kalau orang ini juga ikut memproklamirkan diri sebagai calon kepala daerah.

Ada juga yang berpose memakai peci seolah sedang berbicara di belakang meja di depan banyak orang, memegang mik dan menengok sudut 450 tapi bibirnya tertutup seperti tidak sedang ngomong apa-apa juga seperti tidak sedang memperhatikan apa. Kesan yang ada, saya biasa ngomong di depan banyak orang, tapi ini foto bukan lagi ngomong di depan banyak orang dan saya mencalonkan diri jadi kepala daerah.

Dan semuanya bersimpan makna, jadi kepala daerah itu nikmat, makanya saya pengin mencoba.

Rabu, 18 Oktober 2017

MENANGKAP IDE

Bagi seorang yang punya hoby menulis, menyelesaikan sebuah tulisan yang berawal dari ide unik yang tak sengaja nangsang di kepala adalah sebuah pelepasan kenikmatan yang mengasyikan. Seperti juga mungkin bagi seorang yang punya hoby mancing, mendapatkan ikan sampai tertangkap penuh menjadi sebuah kenikmatan tersendiri tanpa perlu merasa empati pada ikan yang mulutnya tertusuk pancing. Ikan bukan tujuan utama memancing, demikian juga dalam menulis, uang atau laku atau tidak laku sebuah tulisan bukan tujuan akhir untuk mendapatkan keasyikan. Proses menuangkan ide dalam bentuk tulisan atau gambar, setiap urutan berproses merupakan anak tangga yang setiap centinya harus ternikmati tanpa sedikit pun terlewat. Bukan sebuah kesusahpayahan. Sebuah penikmatan dalam melakukan.

Sebuah proses dengan hasil yang baik, pasti akan lebih menyempurnakan keindahan berproses. Berhenti ditengah jalan dengan tidak tahu alasan terhenti, menjadi sesuatu yang mengganjal di seluruh indera. Ketika gagal menuangkan ide secara keseluruhan atau sebagian ada yang ‘tersangkut’ tak tertuangkan karena tak ada kalimat atau gambaran yang bisa sepenuhnya mewakili ide, bisa jadi itu menjadi penghambat untuk melanjutkan menuangkan ide, atau malah bisa jadi menjadi awal ide lain yang berkembang bercabang-cabang.

Ide seringkali mucul tiba-tiba di benak, di tempat dan ruang yang tak terduga. Indera kita menjadi pintu sekaligus penerima ide. Alam, ruang dan waktu menjadi perangsang lahirnya sebuah ide yang dibidani oleh pemikiran yang kreatif dan inovatif. Sebuah rangsangan ide bisa menjadi berbeda-beda pada setiap individu. Bagi individu yang kreatif, ide bisa lahir dibanyak tempat tanpa perlu rangsangan yang kuat untuk lahirkan sebuah ide.

Sebuah ide yang muncul tiba-tiba, bisa saja kemudian lenyap jika tanpa kita catat. Ini bisa terjadi karena otak kita tak sempurna menyimpan. Jika tidak ingin ide yang lahir di sembarang tempat dan sembarang waktu lenyap tanpa di tindaklanjuti, catatlah pada apa saja yang bisa untuk mencatat. Jika dalam perjalanan, berhentilah dan catat. Kondisikan dan persiapkan setiap saat seluruh indera untuk menampung begitu banyak ide yang bergelantungan di sembarang tempat.

Dan, sempatkanlah waktu untuk menuliskan ide dan menikmatinya. 

Sabtu, 14 Oktober 2017

BERDO'AKAH ORANG ATHEIS?

Berdo’a itu berharap atau meminta pada Tuhan agar cita-cita, keinginan, harapan, menjadi kenyataan sesuai dengan keinginan. Tuhan itu sebuah subyek yang mempunyai kekuasaan maha luas dan maha segalanya untuk menentukan tata kehidupan dan semua yang ada di alam raya. Bagi orang yang percaya Tuhan, meminta sesuatu saat semuanya seperti  buntu dan tak tahu mana jalan yang harus dipilih, berdo’a, bisa menjadi obat untuk keluar dari kegelisahan. Melepas lelah dan bersandar pada kekuatan yang maha tahu mana yang terbaik untuk keseluruhan kehidupan.

Orang yang  tak percaya Tuhan, pernahkah ia berdo’a? Jika ia berdo’a, pada sosok siapakah ia memohon sebuah harapan untuk terkabulkan? Semoga-nya orang atheis apakah hanya sebuah harapan tanpa merasa ada kekuatan lain yang bisa berpengaruh pada sebuah kejadian. Apakah sebenarnya ia percaya adanya Tuhan, hanya tidak mau melakoni segala perintah Tuhan yang terwadahi pada sebuah ajaran yang disebut agama.


Jika seorang atheis benar-benar tidak percaya Tuhan dengan segala kekuasaannya, berarti ia hidup hanya bertanggung jawab pada kehidupannya di dunia, dan dunia menjadi segalanya untuk kesempatan sekali saja. Lahir dari rahim ibu, bagi seorang atheis, mungkin saja dianggap hanya sebuah proses alamiah dan tak ada campur tangan Tuhan. Tak ada nasib dan tak ada takdir. Pernahkah mereka berharap untuk percaya adanya Tuhan?

Jumat, 13 Oktober 2017

PAMER ITU “PERLU”

Dikenal itu perlu untuk sebuah barang yang akan di jual untuk mendapatkan uang. Itulah makanya sering diadakan pameran dagang, pameran produksi, pameran kegiatan, dsb. Pamer untuk sebuah barang produksi yang diciptakan untuk mendaptkan laba dari sebuah proses produksi yang panjang, di kenal oleh calon pembeli adalah sebuah keharusan. Tanpa di kenal, akan sangat minim barang itu terbeli dan ini akan menjadikan si pembuat barang rugi, tak kembali modal. Itulah makanya berpamer itu perlu dalam sebuah perdagangan  pada rangkaian lingkaran produksi.
Berpamer sebuah keahlian juga perlu jika jasa keahlian itu memang untuk di jual. Seseorang atau sekelompok orang yang punya keahlian tertentu dan keahlian itu sengaja untuk memperoleh penghasilan, perlu ada upaya untuk meyakinkan para calon konsumen kalau keahliannya tidak mengecewakan jika dipakai.
Dalam berpamer seperti di atas, kita memkluminya. Karena sebuah produk, jasa dan barang, yang mau dijual dengan tanpa di kenal orang, akan tidak maksimal penghasilan yang diharapkan dari kegiatan itu.
Akan terasa lain jika yang dipamerkan itu sebuah jasa telah menolong orang, pamer punya barang bagus, pamer punya uang banyak, pamer nyumbang dana besar, pamer berjasa pada sesuatu. Pamer yang sering disebut sebagai riya. Menunjukkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu bagi orang lain, tapi dirasa perlu bagi yang berpamer.
Sebuah perbuatan riya akan menjadi sebuah perbuatan yang tidak disukai walaupun mungkin saja yang tidak suka juga pernah berbuat riya dengan disadari atau tidak disadari. Untuk menyatakan eksistensi dirinya dalam lingkungan pergaulannya, banyak orang yang merasa pamer itu perlu. Pergaulan yang semakin luas di dunia maya dan semakin sempit bergaul secara fisik, sebuah keberadaan diri perlu dijaga agar tak hilang perlahan terlupakan orang-orang disekeliling dan orang-orang yang dikenal lewat internet yang dijembatani oleh media sosial yang terus tumbuh berebut tempat.
Dalam dunia maya yang di jembatani oleh internet dan di wadahi oleh media sosial, gaya atau perilaku pamer menjadi sebuah semacam ‘hobi’ bagi sebagian orang. Semua yang dirasa asik dan menggembirakan baginya, akan terasa tidak hambar jika tidak dipamerkan dalam media sosial. Sepertinya, semua orang harus tahu kalau “saya” ini sedang begini dan kamu harus peduli dengan keadaanku. Komentar di bawahnya dan “like” menjadi tambahan kegembiraan. Jika yang komentar banyak dan mengena, dan yang  “like” berjumlah banyak, makin bertambahlah senang dan membawanya seolah begitu banyak orang yang peduli keadaanya, banyak orang yang mengerti dan tahu. Meski tak bisa memilah mana yang berkomen dan ber”like” main-main dan tidak. Dalam duni media sosial, tak ada beda “nge-like” yang sungguhan dengan “nge-like” yang sekedar saja untuk basa basi atau malah sambil mencibir saat pencet tombol like.
Kadang juga berpamer dalam bentuk minta do’a, “Insya Alloh saya mau beli anu, bla bla bla bla, mohon do’anya ya teman2”, berpamer kepunyaan, memposting foto-foto dengan latar belakang rumah yang bagus, mobil yang bagus, atau acara-acara yang dianggap bisa mengangkat derajat sosialnya. Sepertinya, bukan do’a dari teman-teman yang diharapkan, tapi lebih penting kalau teman-temannya tahu kalau ‘aku’ mau beli ini yang harganya mahal dan tak semua orang bisa beli.

Bisa berpamer dan mendapat respon dari orang-orang yang dipameri, adalah sebuah kesenangan dan melupakan tentang ‘hukum’ riya. Jika berpamer itu menggembirakan, dan berbuat sesuatu yang menggembirakan itu perlu, maka berpamerlah, dan lupakan apa itu yang isebut riya.